Jakarta, CNN Indonesia – Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia masih sangat rendah atau hanya sekitar 2,6 persen dari total pasar (market share) perbankan nasional.
Dia menyebut meski negara berpopulasi muslim terbesar di dunia, tak dipungkiri ekosistem perbankan atau ekonomi syariah secara keseluruhan belum maksimal.
“Untuk itu pemerintah dengan Kementerian BUMN dalam memaksimalkan potensi besar ini dengan membenahi ekosistem ekonomi syariah nasional,” katanya pada peresmian Shafiec, Jumat (12/3).
Sementara, Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan bahwa kinerja perbankan syariah di tengah pandemi bertumbuh stabil. Ini tercermin dari rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) yang stabil di rentang 20-21 persen pada 2020 lalu.
Sedangkan rasio kredit atau pembiayaan macet atau Non-Performing Loan (NPL) dan Non-Performing Finance (NPF) mengalami penurunan dari 3,46 persen pada Januari 2020 menjadi 3,13 persen pada akhir 2020.
“Sementara total aset perbankan syariah pada Desember 2020 juga mengalami kenaikan menjadi Rp608,9 triliun, meningkat dari Desember 2019 sebesar Rp538,32 triliun,” paparnya.
Walau begitu, Bendahara Negara menyebut terjadi penurunan dari sisi kapitalisasi pasar. Indeks saham syariah Indonesia turun dari Rp3.744 triliun pada 2019 atau 51,5 persen dari total emiten di pasar modal menjadi Rp3.344 triliun atau 47,9 persen pada tahun ini.
Di luar sektor perbankan atau Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Syariah, terjadi pertumbuhan sebesar 9,4 persen menjadi Rp116 triliun. Pertumbuhan tercatat untuk periode November 2020 dibandingkan tahun sebelumnya.
“Kapitalisasi aset dari IKNB Syariah masih sangat kecil dari IKNB konvensional yaitu sebesar 4,43 persen. Seluruh data menggambarkan dari satu sisi ada pertumbuhan yang menggembirakan tapi potensi masih sangat besar ke depan,” jelas Sri Mulyani.
Juga hadir dalam acara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan setidaknya ada tiga tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan industri keuangan syariah.
Pertama, pengembangan halal value chain. Dalam melahirkan industri halal yang efisien, Ma’ruf menyebut perlu dikembangkan ekosistem halal yang terintegrasi mulai dari input, proses produksi, distribusi, pemasaran hingga sampai ke konsumen.
Kedua, digitalisasi. Pandemi yang mempercepat digitalisasi membuat ketergantungan terhadap digitalisasi kian besar. Namun sayangnya, pemanfaatan ekonomi digital Indonesia masih rendah yaitu hanya 2,9 persen terhadap PDB.
Diproyeksikan hingga 2025 mendatang transaksi digital Indonesia akan menembus US$124 miliar, naik pesat dari catatan saat ini yaitu US$44 miliar.
Dari catatan Bank Indonesia (BI), pada tahun lalu transaksi digital perbankan dinyatakan sebesar Rp2.774 triliun atau naik 13,91 persen.
Ketiga, kurangnya sumber daya manusia (SDM) di bidang ekonomi dan keuangan syariah. Ia menyebut saat ini pemenuhan kebutuhan SDM di sektor terkait dilakukan dengan outsourcing dari sektor umum melalui pelatihan.
Karena itu, ia ingin kurikulum pendidikan dapat menyesuaikan dengan kebutuhan industri keuangan syariah.
“Kampus merupakan peran penting dalam melahirkan SDM handal di bidang ekonomi dan keuangan syariah. Saya berharap kurikulum yang dibuat dapat menyesuaikan kebutuhan industri ini,” pungkasnya.