Oleh: Sony Budiarso, S.E.
Peneliti Muda SHAFIEC UNU Yogyakarta
Perkembangan teknologi memang tidak pernah ada habisnya. Manusia menciptakan berbagai inovasi teknologi dalam rangka mendukung kelangsungan kehidupan mereka. Faktanya, teknologi memang benar memudahkan aktivitas manusia dari berbagai aspek sehingga segala sesuatunya menjadi lebih mudah, praktis, dan efisien. Namun, bagaimanakah jika kemudian teknologi itu sendiri-lah yang mengubah struktur dan tatanan aktivitas kehidupan manusia?
Pemahaman kita mengenai uang, dan status kepemilikan sepertinya akan berubah seluruhnya secara total dan drastis tepat ketika Mark Zuckerberg pada bulan Oktober 2021 mengumumkan perubahan nama Facebook menjadi META dan di saat yang bersamaan pula mengumumkan bahwa Facebook akan bertansformasi menjadi metaverse company yakni sebagai sebuah perusahaan yang berada pada dunia realitas tanpa batas yang saling terhubung dimana dunia tersebut didasarkan pada Virtual dan Augmented Technology (Nurjaman, 2022).
Dunia Metaverse yang diciptakan oleh Facebook adalah sebuah ruang virtual yang dapat dijelajahi dan diciptakan oleh manusia tanpa pernah bertemu di satu ruang yang sama (Daraz, 2021 dalam Nafiah, 2022). Pada dunia ini, orang-orang akan saling berinteraksi dan bersosialisasi satu sama lain yang diwakilkan melalui penggunaan Avatar sebagai fitur profil atau wujud diri mereka di dunia virtual Metaverse tersebut. Metaverse dapat diakses dengan sangat mudah menggunakan gawai yang hampir semua orang memilikinya. Di Metaverse pula manusia seperti menjalani kehidupan kedua atau kehidupan pada realitas lainnya. Pada Metaverse, avatar juga dapat melakukan berbagai aktivitas sosial seperti berbelanja, berbisnis, menikmati konser atau pertunjukan-pertunjukan, bahkan dapat memiliki aset properti seperti lahan pada dunia tersebut, yang mana seluruh aktivitas akan tetap melakukan transaksi pembayaran secara nyata (Belk, Humayun dan Brouard, 2022).
Aset dalam metaverse disebut sebagai Non-Fungible Token atau NFT yang merupakan aset digital pada blockchain yang dapat digunakan untuk mewakili kepemilikan barang-barang unik seperti karya seni, koleksi, dan lain sebagainya (Rahajeng, 2022), dimana blockchain memungkinkan metaverse untuk memanfaatkan cryptocurrency sebagai ekosistem keuangan mereka sendiri (Nakavachara dan Saengchote, 2022). Hal ini tentu menarik, salah satunya karena berpotensi memunculkan jenis properti digital baru, kepemilikan, dan cara baru untuk dapat bertransaksi atau memiliki properti, dimana sebelumnya kepemilikan properti hanya terbatas pada kepemilikan benda-benda yang berwujud saja (Belk, Humayun dan Brouard, 2022). Maka dari itu, pembelian properti tak hanya terjadi di dunia nyata, saat ini status kepemilikan atas properti tanah virtual (virtual land) diperjualbelikan dalam metaverse.
Sebuah contoh seperti yang telah dilakukan oleh rapper ternama Snoop Dogg yang menciptakan metaverse yang disebut Snoop verse dimana salah seorang penggemarnya telah membeli real estate berupa tanah virtual seharga Rp6,5 miliar di Metaverse idolanya tersebut (Nurjaman, 2022).
Di Indonesia sendiri, kemunculan Metaverse mulai tampak, salah satu perkembangannya diusung oleh Indonesian Leading Entertainment Company, RANS Entertainment, yang dimiliki oleh artis Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, dimana mereka menciptakan sebuah metaverse yang diberi nama RANSVerse dengan wujud sebuah pulau bebentuk huruf R yang mana disebutkan di dalamnya akan terdapat ekosistem dari Rans Entertainment yang sangat luas, mulai dari 24 ribu plot tanah yang terdiri atas beberapa cluster estate yang dapat diperjualbelikan oleh seluruh orang di dunia, klub sepak bola, dan berbagai spot hiburan milik RANS Entertainment (Pratomo, 2022).
Dikutip pada laman Kompas, RANSVerse berhasil menjual sejumlah 537 dari 24.000 lahan yang disediakan, hanya dalam kurun 27 menit 20 detik saat Initial Land Offering (ILO) 1.3 & 1.4 pada Jumat (09/09/2022). Artinya, saat inipun minat masyarakat Indonesia terhadap perkembangan metaverse cukup signifikan melihat dari tingginya atensi terhadap hadirnya RANSverse tersebut (Laucereno, 2022).
Namun, bagaimanakah Islam memandang fenomena ini? Dan bagaimana hukum transaksi jual-beli secara virtual dalam Islam?
Pada fenomena pembelian properti di dunia metaverse ini, alat pembayaran yang digunakan ialah mata uang kripto sesuai dengan harga yang ditentukan oleh pemilik metaverse tersebut, sehingga seseorang yang ingin membeli atau menyewa tanah virtual tersebut harus terlebih dahulu menukarkan uangnya menjadi mata uang kripto yang merupakan bagian dari transaksi NFT (Nurjaman, 2022). Pada transaksi NFT, semua kegiatan jual beli dilakukan secara otomatis dan tercatat dalam buku digital yang disebut blockchain, dimana blockchain ini adalah sebuah platform yang nantinya secara otomatis akan menjalankan sistem smart contract yaitu sebuah program yang dapat memastikan bahwa transaksi yang terjadi sudah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama sebelumnya (Rahajeng dan Wibisono, 2022). Apabila seseorang ingin membeli sesuatu melalui NFT, maka ia harus terlebih dahulu masuk dan mendaftar ke dalam sistem cryptocurrency (semacam pasar digital seperti Shopee, Lazada, Tokopedia, dan lainnya), untuk mencatatkan namanya sebagai pembeli, melakukan transaksi, sehingga kemudian seseorang tersebut berhak atas kepemilikan barang yang dibelinya.
Dalam Islam, segala bentuk muamalah pada dasarnya diperbolehkan kecuali jika ada dalil yang melarangnya. Seperti dalam aturan fiqh yang artinya:
“Hukum asal-usul sesuatu dalam muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya”.
Artinya, tidak ada yang boleh mengintervensi hukum kebolehan kecuali ada dalil sah yang jelas-jelas melarangnya.
Adapun beberapa rukun jual-beli dalam Islam diantaranya:
- Adanya orang yang berakad (penjual dan pembeli)
Dua pihak yang terdiri dari bai’ (penjual) dan mustari (pembeli), disebut juga aqid yaitu orang yang melaksankan akad dalam jual beli. Dalam kasus jual beli NFT penjual dan pembeli adalah akun yang terdaftar pada market NFT, artinya pada transaksi jual-beli NFT telah terpenuhi dua orang yang berakad.
- Ada shigat (lafadz ijab dan qabul)
Akad menurut bahasa adalah ikatan, sedangkan menurut ahli fiqh akad ialah perkataan antara ijab dan qabul menurut cara yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapakan kedua belah pihak. Shigat dalam sistem transaksi NFT tidak dilakukan secara lisan dikarenakan sistem transaksi dilaksanakan melalui media online sehingga transaksi model seperti ini termasuk dalam model jual beli e-commerce pada umumnya dimana penawaran dan akad jual-beli pada transaksi dilakukan secara tertulis. Barang ditampilkan oleh penjual pada laman NFT dengan keterangan harga tertentu, kemudian pembeli sepakat membeli sesuai dengan harga yang tertera. Walaupun akad tidak diucapkan secara lisan namun kesepakatan antara kedua belah pihak antara penjual dan pembeli menjadi kekuatan hukum disini, sehingga shigat dalam NFT dianggap sah secara hukum.
- Ada barang yang dibeli
Tentu dalam kegiatan jual beli apapun itu haruslah ada maq’ud alaih yaitu barang yang menjadi objek jual beli. Dalam hal ini, barang yang menjadi objek transaksi di dalam sistem NFT berupa aset digital dapat berupa karya seni, lukisan, gambar (Rahajeng, 2022) termasuk lahan digital pada suatu metaverse.
- Ada nilai tukar
Nilai tukar pengganti barang harus memenuhi tiga syarat, pertama dapat menyimpan nilai (store value), dapat menghargakan atau menilai suatu barang, serta dapat dijadikan alat tukar (medium of exchange), dimana dalam NFT transaksi adalah menggunakan mata uang crypto (Yulianton et al., 2018 Febriandika et al., 2022).
Selain itu, menurut anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, ada beberapa hal yang dapat diperhatikan sebelum membuat keputusan dalam pembelian NFT (Sahroni, 2022). Diantaranya yaitu, pertama pastikan biaya pembuatan karya tersebut didapatkan dengan cara yang halal, bukan melalui plagiarisme, pencurian, atau lainnya, kedua pastikan karya dimiliki secara sempurna, tidak mengandung konten-konten pornografi maupun konten yang dilarang syariat lainnya, ketiga pastikan kejelasan mekanisme transaksi seperti telah disepakati nilainya serta jelas kepemilikannya.
Jika dilihat dari pemaparan tersebut, transaksi jual-beli NFT pada metaverse telah memenuhi syariat berdasarkan rukun jual-beli. Namun, perlu dijadikan perhatian lebih bahwa sampai saat ini penggunaan cryptocurrency sebagai metode pemabayaran yang sah dalam Islam masih diperdebatkan. Menurut Supramana (2014) dalam Afrizal dan Marliyah (2018), syarat sebuah benda untuk dapat dijadikan sebagai alat tukar atau uang adalah benda itu harus diterima secara umum (acceptability), bahan yang dijadikan atau dicetak sebagai uang juga harus tahan lama (durability), kualitasnya cenderung sama (uniformity), serta jumlahnya juga harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat serta tidak mudah dipalsukan (scarcity). Selain itu, uang juga harus mudah dibawa (portable), dan mudah dibagi tanpa mengurangi nilai (divisibility), serta memiliki nilai yang cenderung stabil dari waktu ke waktu (stability of value). Sedangkan tentu mata uang crypto belum memenuhi persyaratan diatas.
Dirangkum KompasTekno dari Antaranews.com (2021), MUI menyatakan mata uang kripto tetap sah atau diperbolehkan selama dijadikan sebagai aset atau investasi dan bukan sebagai alat pembayaran. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) beli pada Forum Ijtima Ulama se-Indonesia ke-VII, dimana berdasarkan hasil musyawarah, MUI mengharamkan penggunaan mata uang kripto atau cryptocurrency sebagai mata uang untuk transaksi jual-beli dikarenakan mengandung unsur gharar (ketidakpastian) dan dharar (merugikan salahsatu pihak) (MUI, 2021).
Sampai saat ini belum ada ulama atau lembaga syariah yang menyatakan atau menerangkan tentang hukum transaksi jual beli NFT khususnya pada realitas virtual Metaverse. Beberapa menyebutkan haram, karena transaksi menggunakan metode pembayarannya, crypto, sudah haram. Namun, beberapa yang lain menyebutkan bahwa transaksi NFT melalui metaverse telah memenuhi syarat sil’ah yakni barang yang masih diperbolehkan untuk diperjualbelikan (Rahmah dan Jannah, 2021). Gubernur Provinsi Jawa Barat, Ridwan Kamil, ikut berpendapat bahwasannya transaksi jual-beli NFT ini jelas karena mekanisme transaksi tersebut termasuk ke dalam bursa yang tidak jauh berbeda dengan saham dan nantinya jual-beli akan berbentuk poin dimana poin tersebut dapat dicairkan menjadi nilai uang rupiah (Bestari, 2021).
Semoga kedepannya berbagai kajian dan diskusi mengenai transaksi jual-beli pada metaverse menurut pandangan Islam dapat lebih ditingkatkan oleh pihak-pihak terkait, sehingga didapatkan fatwa yang membahasa dengan jelas batasan-batasan untuk beraktivitas jual-beli maupun lainnya pada virtual realitas metaverse menurut Islam. Kemajuan teknologi tentu membawa banyak manfaat bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Akan tetapi, sebagai seorang muslim kemajuan tersebut tentu harus diimbangi dengan melihatnya menggunakan kacamata syariat, selain agar kita tidak tersesat juga agar kita selalu diberikan syafa’at di dalam setiap langkah kehidupan yang kita tempuh oleh Allah SWT.
***
Referensi:
Afrizal dan Marliyah. 2018. Analisis Terhadap Cryptocurrency (Perspektif Mata Uang, Hukum, Ekonomi Dan Syariah). JURNAL EKONOMI MANAJEMEN DAN BISNIS. 22(2) : 13-41.
Belk, R., Humayun, M. and Brouard, M. (2022) ‘Money, possessions, and ownership in the Metaverse: NFTs, cryptocurrencies, Web3 and Wild Markets’, Journal of Business Research, 153(June), pp. 198–205. doi: 10.1016/j.jbusres.2022.08.031.
Febriandika, N. R. et al. (2022) ‘Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli NFT (Non Fungible Tokens)’, 3(1), pp. 1–12.
Febriaty, H., Rahayu, S. E. and Nasution, E. Y. (2020) ‘Pengaruh Inklusi Keuangan pada Era Digital Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia’, Seminar of Social Sciences Engineering & Humaniora, XI(September 2018), pp. 223–234.
Kompas. (2021) Kripto Halal sebagai Aset, Haram Jika Dipakai untuk Alat Pembayaran. Diakses 19 Februari 2022 melalui https://tekno.kompas.com/read/2021/11/12/11250257/kripto-halal-sebagai-aset-haram-jika-dipakai-untuk-alat-pembayaran?page=all.
Kompas. (2022) 537 Lahan Virtual RansVerse Ludes Terjual Kurang dari 30 Menit”. Diakses 22 Oktober 2022 melalui https://www.kompas.com/properti/read/2022/09/12/190000621/537-lahan-virtual-ransverse-ludes-terjual-kurang-dari-30-menit.
Nurjaman, Muhamad Izazi (2022) Analisis aset tidak berwujud sebagai objek akad perspektif Hukum Ekonomi Syariah. Masters thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Nafiah (2022) ‘Internalisasi Nilai Ekonomi Islam sebagai Ekosistem Ekonomi di Era Metaverse’, Journal of Islamic Economics, 2(1), pp. 82–97.
Nakavachara, V. and Saengchote, K. (2022) ‘Does unit of account affect willingness to pay? Evidence from metaverse LAND transactions’, Finance Research Letters, 49(June), p. 103089. doi: 10.1016/j.frl.2022.103089.
Rahajeng, D. K. (2022). Pro-Kontra ”Crypto Art” dari Perspektif Syariah. Kompas Indonesia. https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/05/pro-kontra-crypto-art-dari-perspektif-syariah
Rahajeng, D. K., & Wibisono, G. (2022). Ada Apa dengan NFT? Potensi, Friksi, Implementasi dan Pengembangan Riset di Masa Depan. In J. H. Mustakini (Ed.), Agenda Riset Bisnis dan Ekonomi Topik Terkini Teknologi Terbarukan (7th ed., pp. 321–359). Penerbit Andi.