BACK TO POSTS
Artikel Shafiec

Pro-Kontra ”Crypto Art” dari Perspektif
Syariah

adminshafiec
/
April 12, 2022
6 mins

Pro-kontra halal-haram sering membawa polemik yang mewarnai perkembangan dunia digital, seperti perkembangan mata uang kripto sebagai alat pembayaran dan hadirnya dunia digital baru bernama Metaverse.

Oleh: DIAN KARTIKA RAHAJENG, M.Sc., Ph.D

Direktur Layanan Konsultasi Strategis – Shafiec UNU; Doktor Akuntansi dan Keuangan dari Universitas Essex, Inggris; Dosen Akuntansi FEB UGM Yogyakarta.

Non-fungible token (NFT) menjadi topik yang ramai diperbincangkan sejak Facebook mengubah nama menjadi Meta dan mengenalkan dunia Metaverse. Dari dunia Metaverse muncul komoditas virtual baru dalam Metaverse (Katterbauer, et al 2022). Apalagi, sejak viral pemuda asal Semarang, Jawa Tengah, bernama Ghozali yang berhasil menjadi miliarder berkat bisnis aset digital NFT yang sudah empat tahun dijalankannya.

”Underlying Asset”

NFT sering kali dikaitkan dengan unsur relevansinya dengan sifatnya apakah termasuk investasi yang memiliki underlying asset. Underlying asset adalah aset yang bernilai ekonomis sebagai dasar penerbitan suatu instrumen investasi. Salah satu instrumen investasi yang memiliki underlying asset adalah sukuk. Sukuk menjadi instrumen keuangan syariah yang dapat dikategorikan non-riba. Sukuk biasanya digunakan untuk membiayai proyek pemerintah (seperti Sukuk Negara Ritel atau SR seri SR016). Prinsip keuangan syariah mewajibkan adanya underlying asset untuk menghindari transaksi dengan mendasarkan uang sebagai komoditas utama (transaksi yang mengandung unsur riba).

Apakah NFT tergolong memiliki underlying asset?

Sebelum masuk ke dalam pembahasan NFT sebagai underlying asset, perlu dipahami underlying asset dari mata uang kripto (cryptocurrency). Terdapat istilah unik dalam pembahasan mata uang kripto, yaitu adanya token crypto yang didukung aset (asset-backed token). Asset-backed token adalah token digital berdasarkan teknologi blockchain yang menandakan bahwa nilai dari token tersebut berasal dari sesuatu yang merupakan representasi kepemilikan aset fisik dunia nyata, misalnya sumber daya alam seperti emas atau minyak (Brukhanskyi dan Spilnyk, 2019). Karena itu, penggunaan aset kripto pada dasarnya adalah penggunaan versi digital dari hak untuk memiliki sumber daya yang secara fisik benar-benar ada. Begitu juga dengan NFT, merupakan representasi kepemilikan aset fisik dunia nyata, yaitu karya seni secara fisik, yang memiliki nilai underlying asset.

Kepemilikan aset fisik dunia nyata, yaitu karya seni secara fisik, yang memiliki nilai underlying asset.

NFT juga tergolong sebagai crypto art yang pada dasarnya juga merupakan sebuah token. Berbeda dengan kripto, aset kripto memiliki kesamaan nilai antar-asetnya sehingga dapat dipertukarkan satu dengan lainnya. Sementara NFT, setiap tokennya dibuat unik dan tidak tergantikan sehingga tidak memungkinkan satu NFT dapat dipertukarkan sama dengan NFT yang lain. Underlying asset yang terdapat dalam NFT adalah aset yang dijamin hak karya seni, yaitu jaminan orisinalitas atau bentuk keaslian dari seni tersebut. Ini berarti, dalam dunia NFT, karya seni tidak dapat diduplikasikan, apalagi direplikasi dalam bentuk massal, karena dilindungi kode-kode tertentu yang dapat melacak pendistribusian aset NFT mulai dari penerbit NFT, pemilik awal hingga pemilik akhir NFT tersebut. Dengan begitu, ini dapat berfungsi sebagai sebuah bukti otentik atas kepemilikan karya NFT dan jaminan bahwa satu aset NFT memiliki jaminan keaslian satu karya seni.

Karya seni dihadirkan dalam bentuk NFT atau aset kripto untuk melindungi dari unsur plagiarisme dan pelanggaran hak cipta karena dalam peredaran kripto dilindungi dalam ruang blockchain (rantai blok) sehingga sangat mustahil diduplikasi. Karya seni menjadi underlying asset aset kripto karena melalui rantai blok yang secara jelas dapat ditelusuri peredarannya, mulai dari penerbit asalnya hingga para pembelinya.

NFT tidak tergolong aset fiktif. Secara fikih, NFT memiliki jaminan berupa aset seni. Karya seni dapat berwujud dalam bentuk fisik dan dapat juga dalam bentuk seni digital. Contoh seni dalam bentuk fisik antara lain diciptakan oleh pelukis kanvas atau pencipta lagu. Seni dalam bentuk digital diproduksi oleh kreator seni digital. Ketika karya sudah dipatenkan menjadi aset kripto, pembeli karya seni tersebut layaknya kolektor benda seni yang membeli lukisan dari seniman. Setelah karya seni di tangan kolektor, kedudukannya menjadi NFT.

Berbagai perdebatan bergulir, terutama menyorot unsur spekulasi yang kental terkait perdagangan aset kripto ini. Chamers et al (2022) tidak setuju dengan kehadiran NFT sebagai hak milik yang diperdagangkan. Menurut dia, bahasa untuk menjual NFT sering kali menyiratkan bahwa NFT menganugerahkan hak milik suatu karya kepada pembelinya. Namun, secara hukum, menurut dia, hal itu mungkin tidak benar-benar terjadi. Ia menjelaskan bahwa dalam banyak situasi, penjual sebenarnya tidak benar-benar memiliki karya seni NFT. Artinya, pembeli tidak dapat mengeksploitasi atau mengakui underlying asset pemegang hak pencipta pertama. Contoh, royalti rekaman musik atau karya seni yang pemegang hak karya tetap pada pencipta awal. Chamers menyebutkan bahwa hal ini berpotensi menempatkan NFT dalam sejarah panjang penipuan bahwa seseorang menjual aset yang sebenarnya tidak mereka miliki.

Bentuk kejahatan yang berpotensi timbul di pasar NFT adalah wash trade, yaitu ketika dua pihak yang terkait erat memperdagangkan aset dengan harga tinggi untuk memberikan kesan palsu tentang pasar yang aktif dan menguntungkan (Chamers, 2022). Isu anonimitas menjadi potensi kecurangan berikutnya. Pembeli dan penjual dalam suatu NFT dapat orang yang sama dan memperdagangkan aset tersebut berulang kali dengan harga tinggi. Tujuannya, pengamat yang kurang informasi akan memutuskan terlibat dalam pasar buatan tersebut dan memutuskan membeli NFT itu. Hal ini juga mendorong potensi tindak pidana pencucian uang. Anonimitas NFT menyebabkan penjualan NFT dengan nilai yang tinggi tidak bisa mendeteksi apakah terdapat hubungan antara pembeli dan penjual sehingga sulit diprediksi apakah dalam NFT tersebut terkandung unsur wash trade.

Bentuk kejahatan yang berpotensi timbul di pasar NFT adalah wash trade, yaitu ketika dua pihak yang terkait erat memperdagangkan aset dengan harga tinggi untuk memberikan kesan palsu tentang pasar yang aktif dan menguntungkan.

Chamers (2022) juga menjelaskan kemungkinan kecurangan lain, yaitu gelembung keuangan (financial bubbles). Gelembung keuangan adalah fenomena pasar yang ditandai dengan harga naik secara substansial sebelum jatuh, tetapi tidak memiliki penjelasan keuangan yang jelas. Tidak seperti penipuan, gelembung tidak selalu melibatkan niat untuk menyesatkan.

Keuntungan Pelaku Industri Kreatif

Selain timbulnya potensi kecurangan, hadirnya platform NFT juga menjadi keuntungan tersendiri, khususnya bagi pelaku industri kreatif. Saat ini pelaku industri kreatif, khususnya seniman atau kreator digital, menikmati pertumbuhan NFT yang luar biasa. Pelaku industri kreatif memiliki peluang yang dapat dioptimalkan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.


Seperti yang kita lihat baru-baru ini, NFT menjadi platform donasi bagi NFT Artist untuk melelang karyanya untuk kepentingan donasi. Dilansir dari Forbes (2021), CEO Twitter Jack Dorsey yang juga menggeluti dunia NFT berhasil menjual NFT-nya seharga 2,9 juta dollar AS yang kemudian ia sumbangkan untuk kepentingan amal kepada GiveDirectly, sebuah organisasi yang mengirimkan uang tunai kepada keluarga miskin di Afrika yang terdampak Covid-19.

Pembahasan singkat mengenai pengenalan NFT mengawali perdebatan pro-kontra di masyarakat terkait perdagangan NFT ini, khususnya dalam lingkup syariah.

Ada lima pro-kontra terkait hal ini yang perlu dicermati.

Pertama, terkait unsur kepemilikan karya cipta. Unsur syariah yang perlu dipertimbangkan pertama kali adalah unsur kepemilikan karya cipta. Apakah hasil karya berbentuk NFT yang diperjualbelikan diperoleh dengan cara halal, di antaranya tidak ada unsur pencurian, plagiarisme atau sejenisnya, serta tidak mengandung konten-konten pornografi. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 menyatakan, hak cipta atau hak kekayaan intelektual dipandang sebagai salah satu hak kekayaan yang dapat dijadikan obyek akad. Obyek akad dalam hal ini dapat dianggap sebagai akad komersial, akad nonkomersial, serta dapat diwakafkan dan diwariskan. Ini berarti dari segi kepemilikan, NFT dapat memenuhi unsur tersebut.

Kedua, proses pembuatan dan hukumnya. NFT boleh dibuat dan diperjualbelikan mengacu pada fatwa MUI yang memperbolehkan mata uang kripto dengan underlying asset. Aset pada NFT dapat berbentuk karya seni foto, lukisan, atau yang lain. Aset-aset yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan syariat dan wajib memenuhi syarat sil’ah.

NFT boleh dibuat dan diperjualbelikan mengacu pada fatwa MUI yang memperbolehkan mata uang kripto dengan underlying asset.

Dari perspektif syariah, NFT sebagai seni diperbolehkan sebagai seni yang memenuhi aspek syariah, seperti benda-benda mati, kaligrafi, dan lukisan yang bersifat abstrak. Aspek yang dianggap kurang memenuhi aspek syariah seperti pembuatan gambar dengan merinci setiap aspek yang bernyawa, hal ini termasuk larangan taswir.

Untuk itu, dalam pembuatannya, perlu dicermati apakah dalam NFT terdapat sesuatu yang melanggar hukum untuk dilihat dalam syariah, misalnya terdapat kejahatan atau zat atau obyek yang melanggar hukum, mengandung unsur ejekan kepada orang lain, serta menggambarkan sesuatu yang suci dalam syariah yang dilarang untuk digambarkan, seperti Allah dan nabi.

Ketiga, mekanisme penjualan dalam pasar NFT. Penjualan NFT dapat dilakukan di berbagai platform, misalnya pada TokoMall, Kolektibel, Baliola, Artsky, Metaroid, dan yang sedang hangat dibicarakan, Opensea.io. Tahapan penjualan NFT harus jelas dan memiliki nilai, kriteria, alat pembayaran, tempat, dan waktu pembelian yang disepakati.

Dalam tahap jual beli NFT pada sesama investor, misalnya, perlu diperhatikan kondisi aset digital yang menjadi underlying asset, apakah terjadi perpindahan secara riil NFT (beserta aset digitalnya), dan tentu saja apakah alat pembayaranya harus memenuhi unsur syariah. Namun, ini masih perlu dikaji lebih lanjut mengingat mata uang kripto sebagai alat pembayaran NFT hukumnya adalah haram. Hal ini sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, bahwa MUI telah menyatakan mata uang kripto hukumnya haram.

Keempat, hak dan kewajiban, yaitu hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi NFT. Dalam hal ini, perlu dipastikan apakah hak-hak dari pihak-pihak terjamin, seperti perlu ada upaya mitigasi risiko, serta tidak terlibat dengan penyalahgunaan transaksi, seperti untuk tindakan maksiat, merugikan, atau zalim. Pembelian aset di NFT diharapkan tidak untuk spekulasi, salah satunya tanpa melakukan mitigasi risiko.

Kelima, polemik pembayaran NFT. Fatwa MUI menyatakan, penggunaan mata uang kripto sebagai mata uang adalah haram karena mengandung gharardharar, dan bertentangan dengan UU No 7/2011 dan Peraturan Bank Indonesia No 17/2015. Sementara sebagai aset komoditas yang memiliki underlying asset, hukum penggunaan mata uang kripto bisa jadi sah atau tidak sah diperjualbelikan tergantung dari karakteristik mata uang kripto tersebut. Sah digunakan apabila memenuhi syarat syar’i, yaitu diketahui jumlahnya secara pasti, memiliki hak kepemilikan, memberi manfaat yang jelas, serta terdapat hukum yang sah untuk diperjualbelikan.

Munculnya keraguan halal-haram memang sering membawa polemik yang mewarnai perkembangan dunia digital, khususnya seputar inovasi baru di dunia digital, seperti perkembangan mata uang kripto sebagai alat pembayaran dan hadirnya dunia digital baru bernama Metaverse. Ke depan, kita akan dihadapkan pada lebih banyak produk digital yang menimbulkan beragamnya isu syariah yang dapat dikaji.

Tugas kita sebagai umat manusia adalah mempersiapkan diri dengan bekal ilmu dan akidah untuk mengetahui mana yang haq dan mana yang bathil sehingga lebih selektif dalam mengikuti perkembangan zaman.***

Artikel ini telah dimuat dalam: https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/05/pro-kontra-crypto-art-dari-perspektif-syariah

Post navigation

Written by

adminshafiec