Publik akhir-akhir ini dikejutkan dengan dugaan penyelewengan dana amal oleh salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia. Hal ini cukup disayangkan mengingat lembaga filantropi atau yayasan yang menggalang dana publik untuk tujuan kemanusiaan justru terindikasi memanfaatkan musibah, serta tingginya kedermawanan masyarakat. Peristiwa tersebut dapat terjadi akibat kurangnya tata kelola dalam operasional badan amal di Indonesia, ditengah menjamurnya lembaga amal yang menggunakan sistem online dalam penyaluran donasinya. Dugaan penyelewengan tersebut bisa saja terjadi dalam yayasan yang bergerak dalam bidang serupa, mengingat terdapat hal yang tidak dibahas dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang tidak mengatur secara eksplisit mengenai detail standarisasi komisi yang diperbolehkan diambil, serta akuntabilitas terhadap donatur terkait pemotongan komisi dari sumbangan mereka. Undang-Undang tersebut dapat dikatakan kurang relevan apabila digunakan mengatur kegiatan filantropi saat ini, masih terdapat banyak kekosongan dalam pengaturan hak donatur dan kewajiban dari pengelola organisasi nirlaba.
Secara definisi, lembaga filantropi adalah organisasi nirlaba (non-profit) yang tidak mencari keuntungan dalam implementasi programnya. Lembaga ini berfokus pada kesejahteraan hidup jangka panjang dan berkelanjutan untuk penerima manfaatnya (Sholikhah, et al 2021). Menurut Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 35, entitas, organisasi, atau lembaga yang tidak berorientasi laba memiliki perbedaan dalam memperoleh sumber daya, entitas nirlaba memperoleh sumber daya dari penyumbang yang tidak mengharapkan manfaat ekonomi atau pembayaran kembali atas sumber daya yang telah diberikan. Meskipun tidak berorientasi pada laba, akan tetapi entitas nirlaba tetap memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pemanfaatan sumber daya yang dikelolanya kepada penyandang dana dan masyarakat luas. Salah satu sumber daya yang paling umum dalam organisasi nirlaba adalah dalam bentuk sumbangan.
Organisasi nirlaba di Indonesia lazimnya dikelola dengan bentuk yayasan. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang (UU) No 16 tahun 2001, yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dan tidak memiliki anggota. Dari definisi tersebut, meskipun yayasan memiliki pembina, pengurus, dan pengawas, akan tetapi ketiganya tidak bertindak sebagai anggota atau pemilik sehingga tidak diperkenankan ada pembagian hasil usaha kegiatan kepada ketiga pihak tersebut.
Gaji untuk Pengurus
Salah satu topik yang sering dibahas adalah mengenai apakah pengurus organisasi nirlaba berhak memperoleh gaji atau upah atas pengelolaan organisasi. Secara yuridis, hal ini telah diatur dalam Undang-undang Pasal 5 ayat 1 UU No. 28 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 tahun 2001 kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas. Namun, terdapat pengecualian terhadap bunyi pasal tersebut, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 Ayat 2 bahwa pengurus dapat menerima gaji apabila bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas, serta melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.
Terkait nominal besaran gaji, Pasal 6 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan berbunyi “Pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10% (sepuluh persen) dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan. Dengan demikian, sebagai pengurus yang berperan sebagai pengelola operasional organisasi nirlaba tetap harus diberikan kewajiban gaji untuk menopang hidupnya dan memastikan agar operasional yayasan berjalan dengan baik, tanpa adanya tindak kejahatan seperti pencurian atau penggelapan dana yayasan.
Tata Kelola Organisasi Nirlaba di Indonesia
Tata kelola organisasi nirlaba memainkan peran penting untuk implementasi program-program yang dijalankan organisasi dapat berjalan lancer dan sukses. Tata kelola organisasi nirlaba sebenarnya sudah disinggung dalam aturan perundang-undangan di Indonesia. Sebagai bentuk transparansi publik atas dana yang dihimpun, dalam Pasal 49 ayat 1 dan 2 Undang-Undang (UU) No 16 tahun 2001 tentang pengelolaan yayasan, pengurus yayasan diwajibkan untuk menyusun laporan tahunan secara tertulis yang memuat sekurang-kurangnya laporan keadaan dan kegiatan yayasan dan laporan keuangan. Penyusunan laporan keuangan tersebut juga harus sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
Selain itu, menurut Pasal 52 UU No. 28 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 tahun 2001 yayasan yang menerima bantuan negara, luar negeri, atau pihak lain sebesar lebih dari 500 juta atau memiliki aset di luar harta wakaf lebih dari 20 milyar wajib diaudit oleh Akuntan Publik. Yayasan juga harus mempublikasikan ikhtisar keuangannya dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia, dan hasil audit disampaikan kepada pembina yayasan dan ditembuskan kepada menteri dan instansi terkait. Dari segi pelaporan, laporan tahunan menjadi salah satu komponen penting dalam memberikan akuntabilitas terhadap dana yang dihimpun oleh yayasan. Pelaporan mencerminkan transparansi dari organisasi nirlaba tentang bagaimana mereka menggunakan sumbangan dari donatur dengan memberi mereka informasi keuangan yang akurat. Namun, terdapat beberapa kekurangan dalam aturan tersebut, dari sudut pandang teori keagenan misalnya, masih kurang jelas tata kelola organisasi nirlaba dalam hubungan antara donatur dengan pengurus organisasi nirlaba, sehingga masih sangat abu-abu terkait penentuan siapa yang bertindak sebagai principal, dan siapa yang menjadi agent organisasi nirlaba, sehingga segala keputusan agent, pihak yang ditunjuk mengelola organisasi, seharusnya dapat diketahui oleh principal organisasi nirlaba sebagai orang yang mendanai operasional organisasi nirlaba.
Berkaca dari penelitian sebelumnya, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa organisasi nirlaba perlu mempertimbangkan strategi tata kelola agar dapat menangani masalah akuntabilitas dan mengatur diri mereka sendiri dengan baik untuk melakukan tanggung jawab tata kelola, manajemen, dan kepemimpinan mereka. Gambar 1 menunjukkan mekanisme tata kelola dari organisasi nirlaba.
Gambar 1. Tata Kelola Organisasi Nirlaba, sumber: Puyvelde, et al. (2012)
Dalam sudut pandang donatur, menurut Teori Keagenan (Agency Theory) dengan menyumbang ke organisasi nirlaba, donatur organisasi nirlaba menjadi principal atau pihak yang mendanai organisasi mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent yaitu pengurus organisasi nirlaba (Puyvelde, et al., 2012). Dengan demikian, perlu mekanisme tata kelola yang baik antara pengurus dan donatur organisasi nirlaba.
Kelly (2001) dalam Puyvelde, et al. (2012), mengusulkan empat strategi tata kelola yang dapat digunakan organisasi nirlaba untuk mengembangkan hubungan penggalangan dana yang menguntungkan dengan donatur sebagai principal, antara lain:
- Balas Budi
Organisasi nirlaba perlu mengakui bahwa peran dari donatur adalah factor utama untuk keberlanjutan organisasi. Oleh karena itu, organisasi nirlaba dapat menunjukkan rasa terima kasihnya terhadap donatur dengan memberi penghargaan atau hal-hal lainnya, seperti catatan kebaikan atas donasi mereka.
- Tanggung Jawab
Organisasi nirlaba bertanggung jawab secara sosial, misalnya dengan mempertimbangkan keputusan dari donatur ketika akan menggunakan sumbangan mereka, atau dengan memberi tahu donatur secara rinci terkait proyek mana yang akan didanai oleh sumbangan mereka sehingga donatur merasa yakin bahwa sumbangan mereka akan digunakan dengan bijak.
- Pelaporan
Organisasi nirlaba harus melaporkan bagaimana organisasi menggunakan sumbangan donatur dengan memberi donatur informasi keuangan yang lengkap dan akurat. Misalnya, terkait berapa besar potongan dari donasi untuk dialokasikan kepada gaji pengurus organisasi nirlaba.
- Pemeliharaan hubungan
Pembangunan hubungan yang berkelanjutan dengan para donatur di luar konteks penggalangan dana, misalnya dengan mengundang mereka ke acara-acara khusus atau melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan, sehingga terjalin hubungan yang baik antara pengurus dan donatur organisasi nirlaba.
Dalam sudut pandang konsumen (penerima donasi) menurut Teori Kegagalan Kontrak (contract failure theory) memandang organisasi nirlaba sebagai respons terhadap masalah keagenan antara konsumen dan organisasi nirlaba. Kegagalan kontrak muncul ketika konsumen, dalam hal ini, penerima donasi menghadapi kerugian informasi dan tidak dapat mengevaluasi secara akurat kuantitas atau kualitas barang dan jasa tertentu. Dalam keadaan seperti ini, organisasi nirlaba memiliki insentif dan kesempatan untuk mengambil keuntungan dari konsumen dengan mengerahkan lebih sedikit usaha, menghasilkan kualitas yang lebih rendah, atau memberikan donasi kurang dari kuantitas yang dijanjikan kepada donatur (Puyvelde, et al., 2012). Oleh karena itu, diperlukan kontrol yang ketat atas pengelolaan organisasi nirlaba oleh donatur, pemerintah, dan masyarakat luas, agar dapat memastikan bahwa organisasi nirlaba menjalankan amanah yang diberikan oleh principal, dan menghindari perilaku oportunis pengurus organisasi yang menguntungkan diri sendiri.
Dari kacamata Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory) menurut Hung (1998), organisasi harus bertanggung jawab kepada berbagai kelompok atau pemangku kepentingan dalam masyarakat, selain untuk principal atau agent organisasi. Dengan memasukkan pemangku kepentingan yang berbeda di pengurus organisasi, diharapkan organisasi akan lebih cenderung menanggapi kepentingan sosial yang lebih luas daripada kepentingan sempit satu kelompok (Conforth, 2021). Model ini dapat diadaptasi oleh organisasi nirlaba agar memilih pengurus organisasi tidak hanya dari pendiri organisasi, atau internal organisasi lainnya, akan tetapi juga membuka kesempatan bagi pemangku kepentingan lainnya secara luas.
Model tata kelola tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi pemangku kepentingan untuk membuat keputusan. Pengurus organisasi nirlaba dapat mempertimbangkan penyusunan model tata kelola yang baik dengan menyesuaikan model tata kelola dengan visi dan misi yang dimiliki organisasi. Bagi pemerintah, kebijakan pengaturan tata kelola organisasi nirlaba dapat disesuaikan kembali dapat disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, menyikapi kasus yang beredar luas akhir-akhir ini.
***
Referensi:
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang
Undang-Undang (UU) Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan
Sholikhah, et al. (2021). Peran lembaga filantropi untuk kesejahteraan masyarakat global (Studi kasus pada Aksi Cepat Tanggap MadiunU). Journal of Islamic Philanthropy and Disaster, 1(1), 27-42.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 45 (revisi 2010) tentang Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba merevisi PSAK 45 (1997): Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba.
Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan 35. 2019. Penyajian Laporan Keuangan Entitas Berorientasi Nonlaba
Hopt, K. J., & Von Hippel, T. (Eds.). (2010). Comparative corporate governance of non-profit organizations. Cambridge University Press.
McClusky, E. J. Ph.D. (2002) RE-THINKING NONPROFIT ORGANIZATION GOVERNANCE: IMPLICATIONS FOR MANAGEMENT AND LEADERSHIP, International Journal of Public Administration, 25:4, 539-559, DOI: 10.1081/PAD-120013255
Puyvelde, V.S., et al. (2016) Managerial Objectives and the Governance of Public and Non-Profit Organizations, Public Management Review, 18:2, 221-237, DOI: 10.1080/14719037.2014.969760
Barros, C. P., & Nunes, F. (2007). Governance and CEO pay and performance in non‐profit organizations. International journal of social economics, 34(11), 811-827.
Siebart, Patricia. (2005) Corporate Governance of Nonprofit Organizations: Cooperation and Control, Intl Journal of Public Administration, 28:9-10, 857-867, DOI: 10.1081/ PAD-200067375
Cornforth, Chris (2001). Understanding the governance of non-profit organizations: multiple perspectives and paradoxes. In: 30th Annual ARNOVA Conference, 29 November – 1 December 2001, Miami.
Hung, H. (1998) ‘A typology or theories of the roles of governing boards’, Corporate Governance, 6, 2, 101-111.