BACK TO POSTS
Artikel Shafiec

Mengenal Aset dan Perkembangannya di Era Digital

adminshafiec
/
December 6, 2022
8 mins

Oleh: Sony Budiarso, S.E.

Peneliti Muda SHAFIEC UNU Yogyakarta

Dunia, teknologi, dan kehidupan berubah pesat dalam era digitalisasi. Perubahan tersebut turut membawa dampak pada gaya hidup, termasuk pada pola bisnis dan investasi. Pemahaman masyarakat terhadap instrumen investasi pun semakin berkembang mengikuti dinamika perubahan yang tak terelakkan. Era digitalisasi yang terjadi saat ini telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap lahirnya aset baru, yaitu hadirnya aset-aset berbasis digital. Dilansir dari Katadata (2022) bahwa Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat per Februari 2022, jumlah investor aset kripto di Indonesia mencapai 12,4 juta orang dengan total nilai transaksi aset kripto sebesar Rp 83,8 triliun. Jumlah ini bahkan melampaui jumlah investor di pasar modal Indonesia yaitu 8,1 juta orang. Suksesnya penetrasi aset digital di masyarakat membawa dampak positif pada peningkatan literasi investasi di masyarakat, akan tetapi disisi lain, juga perlu untuk dikaji apakah aset digital termasuk dalam aset yang memenuhi kriteria syariah. Namun, sebelum hal tersebut, perlu pembahasan lebih lanjut mengenai pengertian aset.

Pengertian Aset

Aset secara definisi, merupakan sumber daya yang dikendalikan oleh entitas akibat dari peristiwa masa lalu dan dari manfaat ekonomi masa depan yang diharapkan dapat mengalir ke suatu entitas (Kieso, Weygandt, dan Warfield, 2011; Wild, Larson dan Chiappetta, 2007). Aset adalah sumber daya dengan manfaat masa depan yang dimiliki atau dikendalikan oleh perusahaan. Sumber daya ini diharapkan menghasilkan manfaat di masa depan. Sedangkan menurut Baridwan (2004) aset merupakan benda baik yang memiliki wujud maupun semu, yang termasuk sumber daya dimiliki oleh perusahaan yang diharapkan dapat diperoleh manfaat ekonomisnya.

Dari definisi tersebut, aset merupakan barang (thing) atau barang apa saja (anything) yang mempunyai economic value (nilai ekonomi), commercial value (nilai komersial), exchange value (nilai tukar) yang dimiliki oleh instansi, badan usaha, organisasi maupun perorangan. Aset sendiri merupakan barang yang dalam pengertian hukum berwujud benda, yang terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak, baik yang itu berwujud benda berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible), yang menjadi harta kekayaan dari suatu badan usaha, organisasi, instansi, atau suatu individu (Lembaga Administrasi Negara, 2007 dalam Nugraha et al., 2012). Beberapa contoh tangible asset diantaranya seperti aset berbasis properti seperti tanah, rumah, apartemen, maupun jenis bangunan prosperti lainnya (Das dan Teng, 2000 dalam Jancenelle, 2021) dan umumnya diklasifikasikan kembali menjadi dua kelompok besar yaitu sumber daya keuangan dan fisik (Wolf dan Reed, 2000 dalam Hofer dan Schendel, 1978 dalam Jancenelle, 2021). 

Sedangkan, intangible asset atau asset yang tidak berwujud merupakan aset yang berbasis pengetahuan (Das dan Teng, 2000 dalam Jancenelle, 2021) dan socially-constructed atau banyak dibangun belandaskan aspek-aspek sosial (Rao, 1994 dalam Jancenelle, 2021). Dalam hal ini, intangible asset mencakup sumber daya, seperti intelektual serta skill atau kemampuan karyawan yang terampil (Shirodkar dan Mohr, 2015 dalam Jancenelle, 2021), kemampuan inovatif, nama merek dagang, keterampilan pemasaran (Chatterjee dan Wernerfelt, 1991 dalam Jancenelle, 2021) serta hak paten dan rahasia dagang (Hall, 1992 dalam Jancenelle, 2021). Sumber daya tak berwujud umumnya dikelompokkan menjadi berdasarkan kelompok organisasi, manusia, maupun penerapan teknologi (Wolff dan Reed, 2000 dalam Hofer dan Schendel, 1978 dalam Jancenelle, 2021).

Underlying Asset

Dalam perspektif syariah, Islam memandang aset, harta, atau kekayaan baik dalam bentuk materi (tangible) maupun bentuk imateri (intangible) sama-sama memiliki kedudukan   yang seimbang dalam pengembangan aset, yaitu dapat dilakukan dengan sistem syirkah, mudharabah, wujuh dan abdan. Syariat  Islam  mengatur dengan baik kekayaan  dalam  bentuk  materi (tangible),  misalnya dalam anjuran sedekah, akan  tetapi    harta  atau  kekayaan  dalam  bentuk intangible mendapat  kedudukan istimewa dengan indikasi ayat al-Quran atau hadist yang banyak menjelaskan lebih detail pada  bagian-bagiannya. Seperti perintah Allah SWT kepada manusia  untuk  berpikir  memahami ayat-ayat  kauniyah, kerjasama, tanggungjawab,   keimanan, membangun sumberdaya manusia yang terampil, memiliki integritas, profesional, dan lain-lain (Khusnudin, 2020). Dalam Al-Quran dijelaskan pentingnya intangible asset agar  diberi  kemudahan  dalam  memperoleh tangible  asset,  sebagaimana  dijelaskan  dalam  surat  Al-A’raf  ayat 96 :

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al A’raf 96).

Hal ini menegaskan  bahwa  untuk  memperoleh tangible asset berupa berkah dari langit dan bumi, harus  memiliki  modal  prioritas  utama intangible asset yang diwakilkan dalam iman dan taqwa manusia yang didalamnya terdapat elemen pengetahuan, kejujuran, dan lain sebagainya.

Selain itu prinsip syariah juga mensyaratkan bahwa perlu adanya nilai yang menjadi dasar penerbitan. Aset yang menjadi dasar disebut underlying asset. Dalam perspektif investasi syariah, underlying asset merupakan aset dasar yang menjadi dasar harga derivatif, atau sebagai obyek atau dasar penerbitan sukuk. Underlying asset adalah aset yang menjadi dasar dalam penerbitan dapat terdiri atas (POJK No, 18 tahun 2015): 

  1. Aset berwujud tertentu (a’yan maujudat); 
  2. Nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada; 
  3. Jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada; 
  4. Aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan); dan/atau 
  5. Kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah).

Underlying asset selama ini identik dengan instrumen derivatif. Oleh karena itu, aset yang dijadikan underlying atau dasar harga aset derivatif wajib dapat berupa barang berwujud seperti tanah, bangunan, proyek pembangunan, atau aset tidak berwujud seperti jasa, atau hak manfaat atas aset. Dengan kata lain meskipun benda yang diperjualbelikan di pasar fisik dan pasar berjangka berbeda akan tetapi keduanya saling berkaitan dan saling mempengaruhi harga satu sama lain. Ini lah yang dikatakan bahwa suatu aset memiliki dasar penerbitan.

Komoditas yang diperjualbelikan di pasar fisik dijadikan sebagai underlying asset pada kontrak berjangka yang diperjualbelikan di pasar berjangka, jika benda yang diperjualbelikan pada pasar fisik disebut komoditas, sebaliknya benda yang diperdagangkan dalam bursa berjangka disebut kontrak berjangka (futures contract) atas komoditas yang diperdagangkan atau disebut juga sebagai derivatif (Panggabean G, 2021 dalam Krisnawangsa et al., 2021). Derivatif adalah kontrak perjanjian antara dua belah pihak yang menyetujui untuk menjual dan membeli sejumlah komoditas yang dijadikan sebagai underlying asset pada tanggal tertentu pada masa yang akan datang dengan harga yang telah disepakati saat ini (Krisnawangsa et al., 2021). Dengan demikian ekosistem perusahaan digital, menghadirkan jenis-jenis aset baru seperti aset digital juga perlu dikaji apakah terdapat underlying asset untuk dijadikan dasar argument bahwa aset digital memenuhi kriteria yang diatur dalam prinsip syariah.

Pergeseran Aset di Era Digital

Dalam era digital saat ini, hadirnya mata uang dan aset digital cryptocurrency, perusahaan teknologi seperti startup company, telah membawa perubahan pada bisnis dan teknologi yang cukup signifikan. Perkembangan ini seakan mendisrupsi perspektif dan pemahaman lama dengan hadirnya jenis investasi, mata uang, yang membawa pada pemahaman baru seputar aset digital bekerja. Konsep yang ada selama ini menganggap bahwa aset terpenting dalam perusahaan hanya aset berwujud dalam bentuk fisik seperti uang tunai, mesin, bangunan, tanah, pabrik, dan lain sebagainya. Saat ini, aset tidak berwujud yang dianggap aset nonfisik, seperti kekayaan intelektual, hak cipta, paten, merek dagang, rahasia dagang dan goodwill (Best, 2010) juga menjadi hal yang sangat berharga, yang menandai bahwa telah terjadi revolusi digital yang mengubah kehidupan masyarakat (Toygar, Rohm, dan Zhu, 2013).

Perubahan aset di era digital bahkan menyatakan bahwa pelaporan keuangan tradisional tidak dapat menangkap value driver yang mendominasi dalam ekonomi digital, yaitu mengacu pada aset tidak berwujud (Jenkins dan Upton, 2001). Padahal, banyak perusahaan saat ini menghabiskan banyak uang untuk aset tidak berwujud dan fakta bahwa aset ini menghasilkan banyak manfaat di masa depan (Lev dan Gu, 2016). Meningkatnya fokus perusahaan pada aset tidak berwujud dapat dijelaskan di era ekonomi digital modern saat ini.

Seperti yang marak terjadi dalam perusahaan startup saat ini, perusahaan mengirimkan karyawan untuk melakukan pelatihan keahlian di luar negeri untuk menambah kapabilitas dan kemampuan dalam mengembangkan bisnis digital perusahaan. Hasil pelatihan berupa ide, inovasi, pengetahuan, dan brand image tidak dapat dicatat sebagai aset dalam catatan akuntansi laporan keuangan perusahaan. Padahal, aset berupa pengetahuan inilah yang banyak digunakan untuk membangun bisnis di era digital.

Misalnya dalam perusahaan teknologi jasa ojek online, Gojek, yang menjadi decacorn dengan valuasi perusahaan sebesar US$ 18 miliar atau setara Rp 256,55 triliun (Katadata, 2021). Perusahaan ini tidak memiliki satu pun motor atau mobil untuk driver yang menjadi lini utama bisnis ojek onlinenya. Perusahaan memanfaatkan intangible asset berupa pengetahuan untuk membangun model bisnis berbasis teknologi yang dapat menghubungkan antara mitra (driver ojek) dengan penumpang ojek dalam satu waktu. 

Maka dari itu, bagi banyak pebisnis saat ini beralih fokus bisnis pada pengembangan intangible asset sebagai salah satu sumber penciptaan nilai yang paling umum digunakan memajukan perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Perusahaan raksasa teknologi seperti Facebook, Amazon, Apple, Alphabet dan Microsoft merupakan lima perusahaan teratas di AS berdasarkan kapitalisasi pasar (Nasdaq, 2021) dan mereka memiliki satu kesamaan, model bisnis digital mereka juga bergantung pada aset tidak berwujud. Hal ini menunjukkan bahwa aset tidak berwujud pada era digital menjadi salah satu sumber penciptaan nilai utama bagi perusahaan yang ingin survive di era digital.

Crypto Asset Syariah

Tak hanya pengetahuan, ide, inovasi, dalam era digital dikenal juga intangible asset berupa jenis alat pembayaran atau investasi baru bernama Cryptocurrency atau Crypto Asset. Crypto Asset menjadi fenomena yang semakin sering muncul selama beberapa tahun terakhir dan digunakan secara luas untuk instrumen pembayaran atau investasi oleh entitas baik individu maupun perusahaan. Banyak  perusahaan  yang  mulai  menggunakan  Cryptocurrency  untuk  tujuan investasi  atau  menerimanya sebagai alat pembayaran, seperti  Paypal, Overstock, dan Microsoft yang telah menggunakan Cryptocurrency sebagai opsi metode pembayaran (Nasdaq, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan crypto baik untuk mata uang atau untuk aset investasi telah masif dilakukan.

Nilai crypto adalah murni berdasarkan supply dan demand di pasar kripto, tanpa adanya intervensi dari pihak manapunb. Aset atau mata uang berbasis blockchain ini memiliki underlying asset karena pengembangannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan berbagai proyek dan teknologi digital yang lebih canggih di sejumlah sektor industri, misalnya sektor finansial, kesehatan, telekomunikasi, dan transportasi. Proyek cryptocurrency ini adalah yang menjadi underlying asset atau platform dimana koin dan token pada awalnya dikembangkan. Misalnya salah satu cryptoasset Bernama Ethereum digunakan sebagai keuangan terdesentralisasi untuk mendanai banyak proyek digital metaverse dan Non-Fungible Token, termasuk Star Atlas, Axie Infinity, The Sandbox (Nasdaq, 2022).

Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, mulai dikembangkan juga Crypto Asset yang diklaim sebagai crypto syariah, yaitu Caizcoin yang memiliki underlying asset dan digunakan untuk mendanai proyek-proyek berbasis syariah. Mengutip dari Caizcoin (2021) bahwa jenis kripto ini merupakan proyek kripto syariah pertama. Tim Caizcoin membeberkan bahwa norma-norma etika dan moral menjadikan investasi pada aset kripto ini unik dan dapat dipercaya. Proyek Caizcoin menggabungkan sistem keuangan futuristik dengan filosofi tradisional Keuangan Islam, dimana proyek yang dikerjakan perbuatan baik dengan menyediakan infrastruktur keuangan yang akan digunakan untuk kesejahteraan manusia dan bisnis yang fokus pada etika, seperti penerapan prinsip moral dan konsep zakat. Selain itu, aset kripto ini juga diklaim mendasarkan sistemnya pada keadilan, kebenaran, ketidakberpihakan, dan kesejahteraan semua investor dan mitra tepercaya.

***

Referensi

Baridwan, Zaki. 2004. Intermediate Accounting, Edisi Kedelapan, Yogyakarta: BPFE.

Best, K. 2010. The Fundamentals of Design Management. Lausanne : Ava Publishing.

Blanke, T. (2014). Digital asset ecosystems: Rethinking crowds and clouds. Elsevier.

Coin, C. (2021) The first islam compliant crypto. Diakses 1 Mei 2022 melalui https://caizcoin.com/

Jancenelle, V. E. (2021) ‘Tangible−Intangible resource composition and firm success’, Technovation, 108(July), p. 102337. doi: 10.1016/j.technovation.2021.102337

Jenkins, E. dan Upton, W., (2001). Internally Generated Intangible Assets: Framing the Discussion. Australian Accounting Review, 11(2), pp. 4-12.

Katadata. (2021). Indonesia Kini Punya 8 Unicorn, Berikut Daftarnya. Diakses 1 Mei 2022 melalui https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/17/indonesia-kini-punya-8-unicorn-berikut-daftarnya 

Khusnudin, K. (2020). Intangible Asset Dalam Pengembangan Bisnis Perspektif Maqasid Syariah. JIsEB1(1), 40-44.

Kieso, Donald E., Jerry J. Weygandt, Terry D. Warfield. (2011). Intermediate Accounting, Volume 1. IFRS Edition. United States of America: Quad/Graphic,Inc

Krisnawangsa, H. C. et al. (2021) ‘Urgensi Pengaturan Undang-Undang Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset)’, Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, 13(1), pp. 1–15. doi: 10.28932/di.v13i1.3718.

Lev, B. & Gu, F., 2016. The End of Accounting and the Path Forward for Investors and Managers. Hoboken: John Wiley & Sons

Nasdaq. (2018). 7 Major Companies That Accept Cryptocurrencies. www.nasdaq.com/article/7-major-companies-that-acceptcryptocurrency-cm913745

Nasdaq, (2021). Quotes For NASDAQ-100 Index. Diakses 1 Mei 2022 melalui https://www.nasdaq.com/market-activity/quotes/nasdaq-ndxindex

Nasdaq. (2022). What Is the Next Big Cryptocurrency To Explode in 2022?. Diakses 1 Mei 2022 melalui https://www.nasdaq.com/articles/what-is-the-next-big-cryptocurrency-to-explode-in-2022

Nugraha, F., Surarso, B. and Noranita, B. (2012) ‘Sistem Pendukung Keputusan Evaluasi Pemilihan Pemenang Pengadaan Aset dengan Metode Simple Additive Weighting (SAW)’, Jurnal Sistem Informasi Bisnis, 2(2). doi: 10.21456/vol2iss2pp067-072

Sugiarto, A. (2022). G-20 dan kebijakan aset digital. Diakses 1 Mei 2022 melalui https://mediaindonesia.com/kolom-pakar/486480/g-20-dan-kebijakan-aset-digital

Setyowati, D. (2022). Jumlah Investor Kripto di Indonesia 12,4 Juta, Lampaui Saham. Diakses 1 Mei 2022 melalui https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/623c2c791aab3/jumlah-investor-kripto-di-indonesia-12-4-juta-lampaui-saham

Pamungkas, U. D., dan Firmansyah, A. (2021). Bagaimana Pengaturan Kepemilikan Cryptocurrency Oleh Perusahaan Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan?. Jurnal Ilmiah Akuntansi Kesatuan9(3), 489-510.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No, 18 tahun 2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Sukuk

Purnamawati, I. (2015). Perbandingan Sukuk dan obligasi (telaah dari perspektif keuangan dan akuntansi). Jurnal Akuntansi Universitas Jember11(1), 62-71.

Toygar, A., Rohm Jr, C. E., & Zhu, J. (2013). A new asset type: digital assets. Journal of International Technology and Information Management22(4), 7.

Wild. J. John, Larson. D. Kermit, Chiappetta, Barbara. (2007). Fundamental Accounting Principles. 18 Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc

Post navigation

Written by

adminshafiec