BACK TO POSTS
Artikel Shafiec

Dinamika Mata Uang Islam dan Cryptocurrency

adminshafiec
/
January 26, 2023
16 mins

Oleh:

Danang Teguh Qoyyimi, M.Sc., Ph. D.; Dian Kartika Rahajeng, M.Sc., Ph. D.; dan Sony Budiarso, S.E.

Tim Riset SHAFIEC UNU Yogyakarta

Dunia, teknologi, dan perilaku telah berubah, pemahaman masyarakat terhadap instrumen ekonomi dan keuangan menjadi suatu dinamika perubahan yang tak terelakkan. Demikian juga dengan kehadiran Mata Uang Kripto atau yang sering disebut Cryptocurrency, menjadi fenomena yang menarik banyak perhatian masyarakat belakangan ini. Sebelum mulai membahas mengenai mata uang Kripto dan hukum penggunaannya, alangkah baiknya untuk melihat kilas balik transformasi mata uang dan transaksinya mulai dari zaman Rasulullah SAW, masa kekhalifahan sahabat, hingga pada masa kejayaan dinasti dan sesudahnya untuk mengambil posisi dalam konstektualisasi hukum mata uang pada masa ini. 

Kilas balik pada sejarah keuangan islam berguna untuk menguji relevansi dan kompatibilitas mata uang digital dan Islam yang dimulai dengan melihat peran uang dalam sejarah awal Islam, serta perkembangannya dari waktu ke waktu. Dampak positif dan juga kritik terhadap bentuk uang tradisional turut dibahas sebagai perbandingan dengan hadirnya mata uang digital. Sejarah yang diulas bersumber dari beberapa kajian diantaranya penelitian oleh Susanti, R. (2018). Noviyanti, R. (2017). dan Umam et al.(2020).

Masa Nabi Muhammad SAW

Tahukah anda bahwa Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahiliyah tidak memiliki mata uang khusus? Saat itu, Bangsa Arab menggunakan mata uang berupa Dinar emas, Dirham perak, dan mata uang bangsa Himyar, dan menggunakan timbangan dalam mengukur suatu nilai mata uang tersebut. Diantaranya Dinar emas berkadar 22 karat (91,70%) dengan berat 4,25 gram, sedangkan Dirham perak berkadar (99.95%) perak murni dengan berat 2.975 gram (Azizah dan Irfan, 2020). 

Nabi Muhammad SAW ketika diutus oleh Allah  SWT menjadi nabi dan rasul, beliau tidak mengubah apa yang sudah menjadi tradisi penduduk Makkah, dan memerintahkan penduduk Madinah untuk mengikuti ukuran timbangan penduduk Makkah, dan interaksi ekonomi yang dilakukan menggunakan dirham dengan nilai dalam jumlah bilangan, bukan dari ukuran timbangan berat dirham.

Masa Khalifah Abu Bakar dan Umar Bin Khattab

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, dilanjutkan oleh masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq. Karena masa pemerintahan yang relatif pendek, maka bentuk mata uang masih sama dengan masa Nabi Muhammad SAW. Berlanjut Pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab (18H) perkembangan uang mulai dirasakan. Pada masa ini dicetak suatu mata uang yaitu dirham Islam. 

Percetakan uang dirham ditunjukkan dengan ciri-ciri keislaman, yaitu dibentuk cetakan seperti dinar Persia dan terdapat tulisan “Alhamdulillah”, “Muhammad Rasulullah”, “Laa ilaha illa Allah wahdahu” dan juga nama khalifah “Umar”. Kemudian ditetapkan juga standar kadar dirham dan dikaitkannya standar tersebut. Selain itu, Umar juga berperan dalam menetapkan standar nilai pada koin dinar dan dirham, yaitu berat 7 dinar setara dengan 10 dirham. Sedangkan standar pada dinar emas yaitu menggunakan kadar emas 22 karat dengan berat 4,25 gram.

Masa Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib

Masa kekhalifahan Utsman bin Affan hampir sama dengan masa kekhalifahan Umar Bin Khattab, perkembangan mata uang pada zaman ini adalah pencetakan uang dinar dan dirham versi baru dengan cara memodifikasi uang dinar Persia dan ditulis dengan simbol-simbol Islam, salah satunya adalah tulisan “Allahhu Akbar”.  Sementara itu, ketika masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dicetak mata uang dirham yang mengikuti model sebelumnya pada Kekhalifahan Utsman bin Affan, dan menambahkan tulisan Bismillah, Bismillah Rabbi, dan Rabiyallah.

Masa Dinasti Umayyah

Pencetakan uang pada masa Dinasti Umawiyah semenjak masa Muawiyah bin Abi Sofyan juga masih meneruskan model pada zaman Khulafaur Rasyidin. Kemudian pada masa Abdul Malik bin Marwan, disatukanlah tempat percetakan mata uang dan pada tahun 76 H dibuat mata uang Islam yang didesain dengan model Islam tersendiri, tidak ada lagi isyarat warisan dari lama seperti tanda Byzantium atau Persia.

Masa Abbasiyah dan Sesudahnya

Masa Abbasiyah melanjutkan pencetakan dinar mengikuti metode Dinasti Umawiyah. Pada masa ini dinar yang digunakan mengikuti model dinar Umawiyah. Sedangkan dirham mengalami pengurangan ukuran hingga tiga butir pada masa Abu Ja’far al-Manshur, dan menjadi satu karat (qirath) pada masa Musa al-Hadi. Kemudian terjadi insiden pada masa kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi Rahimahullah, dimana bahan baku emas untuk mencetak dinar tidak cukup karena terjadi banyak peperangan. Karena itu, mata uang utama pada saat itu beralih ke perak campuran dengan tembaga.

Pencetakan dirham dihentikan pada masa pemerintahan raja al-Zhahir Barquq dan uang tembaga menjadi mata uang utama. Hal ini disebabkan karena pada masa itu terjadi penjualan perak ke negara-negara Eropa, meningkatnya impor tembaga dari negara-negara Eropa, serta meningkatnya konsumsi perak untuk pembuatan pelana dan bejana. Namun, peralihan ke uang tembaga tidak bersifat permanen, dan akhirnya kembali pada fungsi awalnya sebagai mata uang bantu. Dibuktikan pada masa Sultan Muayyad, uang logam dari tembaga digunakan untuk barang-barang murah. Sedangkan mata uang utama tetap menggunakan dirham perak atau yang disebut Dirham Muayyad.

Transformasi Ke Fiat Money (1931- sekarang)

Uang yang kita kenal pada saat ini disebut dengan fiat money. Hal ini disebabkan karena kemampuan uang untuk berfungsi sebagai alat tukar dan memiliki daya beli tidak didukung oleh komoditas secara fisik seperti emas, perak, tembaga, dan sebagainya. Islam mencatat sejarah awal penggunaan mata uang fiat money pada tahun 1839 masa Dinasti Ottoman, pemerintah Usmaniyah mulai menerbitkan mata uang yang berbentuk kertas banknote dengan nama Gaima. Seiring berjalannya waktu, nilai Gaima terus merosot sehingga rakyat Dinasti Ottoman tidak mempercayai penggunaan mata uang tersebut. 

Mulai era Perang Dunia I tahun 1914, Turki dan negara-negara lain di dunia resmi membatalkan berlakunya penggunaan emas dan perak sebagai mata uang, dan mulai beralih menggunakan uang kertas sebagai uang yang sah. Hal ini berlanjut ketika penggunaan emas mulai ditinggalkan oleh perekonomian dunia pada tahun 1931, dan ditinggalkan seluruh dunia pada tahun 1976, sejak masa itu diberlakukan uang kertas sebagai mata uang yang berlaku secara global hingga saat ini.

Penggunaan Mata Uang Kertas

Meskipun tidak dilatarbelakangi oleh emas dan perak seperti mata uang sebelumnya, Uang kertas telah menjadi standar alat tukar atau alat pembayaran yang sah hingga saat ini. Kedudukan uang kertas hukumnya tetaplah sama seperti penggunaan mata uang sebelumnya. Uang kertas merupakan harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakat daripadanya. 

Uang kertas memiliki kelebihan yaitu fleksibel dan mudah dibawa, biaya penerbitan yang lebih kecil daripada uang logam, serta dapat dipecah dalam jumlah berapapun. Uang kertas juga mempunyai kekurangan seperti stabilitas nilai tukar yang tidak terjamin dan pencetakan dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan inflasi yang mengganggu stabilitas ekonomi suatu negara.

***

Diskursus Ulama Saat Zaman Pergeseran ke Fiat Money

Melihat dari aspek sejarah dinar dan dirham, Rasulullah SAW tidak pernah membatasi atau melarang penggunaan uang dengan jenis yang lain, bahkan dijelaskan dalam tafsir al-San’aniy dalam Priyatno (2020) bahwa saat era Khalifah Umar bin Khattab, sempat ingin mencetak uang yang terbuat dari kulit unta karena banyaknya dinar dan dirham yang dipalsukan di saat itu, dimana kandungan emas dan peraknya dicampur dengan kandungan tembaga. Ini menunjukkan bahwa terdapat kebolehan penerapan secara terminologi sistem moneter tentang uang, baik itu dari segi nilai bentuknya dapat disesuaikan dengan kondisi dan perubahan zaman.Jauh sebelum pergeseran penggunaan dinar dan dirham ke fiat money di zaman dinasti ottoman, ternyata ulama-ulama pada zaman dahulu sudah memberikan pendapat mengenai penggunaan mata uang selain dinar dan dirham. Pendapat yang memperbolehkan penggunaan mata uang selain dinar dan dirham adalah Mâlik bin Annas, Ibn Tamiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawzî, yang dikutip dari Kulsum(2014). Pendapat inilah sebagai rujukan penggunaan fiat money yang kita gunakan sampai saat ini.

Mâlik bin Annas(712-795 M/ 93- 179 H)

Mâlik bin Anas mengatakan bahwa penetapan mata uang adalah berdasarkan kesepakatan manusia. Sebagai perumpamaan, jika kulit disepakati menjadi mata uang, maka kulit dapat berfungsi seperti mata uang dinar dan dirham. Demikian juga, jika mata uang yang disepakati adalah mata uang kertas atau fiat money, maka kertas tersebut dapat dijadikan sebagai mata uang resmi berdasarkan kesepakatan.

Ibn Tamiyyah(1263-1327 M/ 661-728 H)

Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa penetapan mata uang itu didasarkan pada adat kebiasaan manusia, sebab menurutnya, tidak ada pernyataan secara tegas dalam Al-Quran dan Hadits yang memberi ketentuan atau mewajibkan umat islam untuk menerapkan dinar dan dirham sebagai uang. Munculnya dinar dan dirham secara historis juga merupakan pengaruh dari bangsa lain yang berkuasa pada saat itu, yaitu Roma dan Persia.Kata dinar dan dirham dalam ayat-ayat Al Quran juga tidak menunjukkan pembatasan penggunaan kedua sebagai uang. Menurut Ibn Tamiyyah, penjelasan mengenai dinar dan dirham merujuk pada penjelasan dari fungsi dinar dan dirham sebagai alat tukar (medium of exchange), alat penyimpan nilai (store of value), dan media pengukur nilai yang memang digunakan pada masa itu, penekanannya bukan pada penjelasan mengenai mata uang yang sah dan halal dalam Islam.

Ibn Qayyim al-Jawzî (1292-1350 M/691-751 H)

Ibn Qayyim al-Jawzî mengatakan bahwa mata uang tidak harus sesuatu yang terbuat dari emas dan perak, juga tidak mesti sesuatu yang dapat ditimbang seperti dinar dan dirham. Menurut Ibn Qayyim al-Jawzî, suatu uang dilihat adalah dari urgensinya sebagai alat tukar yang dapat memenuhi kebutuhan manusia dalam melakukan transaksi.

***

Mengapa Kita Tidak Kembali ke Dinar dan Dirham?

Mengutip penelitian dari Rimsky dalam Haerisma(2011) terdapat beberapa risiko penggunaan dinar dan dirham sebagai standar moneter antara lain, Pertama, jika penggunaan emas dinyatakan sebagai standar moneter, terdapat potensi kecurangan pelaku ekonomi yaitu mengurangi kadar emas dan potensi pemalsuannya. Dinar dan dirham sendiri merupakan logam mulia yang memiliki sifat fisik mudah dibentuk dan dicetak, termasuk rawan pemalsuan baik dari segi kadar kemurniannya, maupun berat satuannya yang di bawah standar.

Masalah selanjutnya, biaya standar dari emas juga tidak dapat melayani transaksi-transaksi yang nilainya kecil, karena nilai emas adalah tinggi, sehingga hanya bisa digunakan untuk transaksi dengan nilai yang besar. Ketiga, cadangan emas saat ini sifatnya sangat terbatas, ketersediaan emas relatif tidak merata diantara negera-negara Islam, sehingga dapat menimbulkan potensi kesenjangan diantara kedua negara ketika melakukan perdagangan internasional. 

Namun, bukan tidak mungkin untuk menerapkan dinar dan dirham untuk perdagangan internasional. Nabila dan Arini(2015) berpendapat bahwa penggunaan dinar dan dirham dalam kegiatan perdagangan internasional dapat dilakukan, dengan syarat bahwa sebelum dilakukan perdagangan, diantara para negara yang melakukan perdagangan tersebut saling sepakat untuk menggunakan dinar dan dirham sebagai instrumen pembayaran yang sah yang secara tertulis sebagai kontrak diantara mereka untuk menggantikan penggunaan uang kertas. 

Melihat kilas balik sejarah uang dunia yang berbentuk emas, perak, tembaga dan akhirnya menuju penggunaan secara keseluruhan dengan uang kertas, kembali dengan topik pembahasan yaitu bagaimana kaitan hal tersebut fenomena mata uang crypto saat ini?

Apa itu Mata Uang Kripto?

Secara definisi, Cryptocurrency adalah mata uang virtual yang dilindungi kode rahasia, memiliki sandi-sandi yang cukup rumit berfungsi melindungi dan menjaga keamanan mata uang digital ini. Saat ini, Cryptocurrency juga akrab disebut Crypto Asset(Aset Kripto), karena nilainya yang terus meningkat secara signifikan, serta memiliki underlying asset. Menurut Prof. Dian Masyita, Ph.D., Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Islam Internasional Indonesia. yang dikutip dari FEB UGM(2021), Crypto assets dapat tergolong sebagai economic assets, sebab Aset Crypto memiliki nilai moneter sehingga si pemilik Crypto bisa untung dan bisa rugi. 

Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa pembahasan mengenai Cryptocurrency ramai diperbincangkan, yaitu karena nilainya yang dapat meningkat maupun menurun secara signifikan dari waktu ke waktu. Kita ambil contoh pada salah satu jenis mata uang kripto bernama Bitcoin, pada tahun 2009 nilainya tidak mencapai Rp14.000, tetapi pada Februari 2022 nilainya dapat menyentuh kisaran angka Rp600 jutaan. 

Nilai mata uang kripto sangat tergantung pada kepercayaan pengguna. Tidak ada mekanisme untuk mengatur atau mengontrol penawaran dan permintaan dalam pasar cryptocurrency lainnya membuat fluktuasi harga jangka pendeknya lebih tinggi daripada uang kertas saat ini (Berentsen et al., 2018). Situasi ini dapat membuat kepercayaan orang terhadap mata uang ini menurun dan selanjutnya membuat harga turun kapan saja.

Memang berinvestasi di kripto tidak semudah membalikkan telapak tangan. Nilai kripto yang sangat fluktuatif seringkali menenggelamkan investor pada jurang kerugian. Nilai mata uang kripto yang dapat naik turun secara ekstrim membuat para investor kripto dapat menjadi kaya raya dan miskin dalam sekejap waktu, cukup menegangkan, bukan? Lalu bagaimana islam memandang hal tersebut?

Asal Mula Mata Uang Kripto

Cryptocurrency berawal dari Satoshi Nakamoto, sosok yang dianggap sebagai pencipta mata uang digital Bitcoin, yang pada 2008 mengumumkan rilis pertama bitcoin, sistem uang elektronik baru yang dibentuk berdasarkan teknologi Kriptografi sehingga tidak mudah digandakan atau dipindahkan ke pihak-pihak lain yang tidak memiliki akses atau bukan pemilik mata uang tersebut disebut. Desain cryptocurrency berfungsi sangat terdesentralisasi, berjalan secara otomatis tanpa dikendalikan oleh server atau otoritas pusat, sehingga transaksi cryptocurrency dapat sangat aman, rahasia, dan bebas tanpa dikendalikan oleh otoritas tertentu (Azizah dan Irfan, 2020).

Disisi lain, cryptocurrency juga memiliki beberapa kelemahan yang mungkin membawa dampak negatif bagi pengguna serta pihak terkait lainnya. Bitcoin dan cryptocurrency serupa lainnya tidak memiliki nilai intrinsik (Peter, 2016; Abubakar et al., 2018). Dalam Cryptocurrency juga tidak berlaku adanya perlindungan konsumen, karena cryptocurrency adalah sistem mata uang terdesentralisasi yang hanya bergantung pada sistem dan pengguna(Noh dan Bakar, 2020).

Oleh karena itu, Status hukum cryptocurrency ditanggapi dengan berbeda-beda oleh negara di dunia. Beberapa negara secara gambling telah melarang penggunaan Cryptocurrency, sedangkan negara lainnya juga mengizinkan penggunaan dan perdagangan Cryptocurrency, baik secara bebas maupun dengan Batasan tertentu. Beberapa negara yang melarang keras penggunaan Cryptocurrency, Menurut Library of Congress(2018) antara lain Negara Aljazair, Bolivia, Mesir, Irak, Maroko, Nepal, Pakistan, dan Uni Emirat Arab. 

Namun, meningkatnya popularitas dan permintaan cryptocurrency yang terus berlanjut hingga saat ini, pada dasarnya juga masih dibayangi kekhawatiran dari banyak kalangan dan otoritas hukum. Skema penggunaan Cryptocurrency yang anonim dan sangat rahasia seringkali menimbulkan potensi adanya kejahatan dibaliknya, salah satunya seperti pencucian uang dan penggelapan pajak(Umam et al, 2020). 

Data Penggunaan Mata Uang Kripto

Di Indonesia sendiri, ternyata cukup banyak investor yang tertarik berinvestasi di Kripto. Disadur dari pernyataan Prof. Dian Masyita yang dikutip dari FEB UGM (2021) pada Mei 2021, sebesar 6,5 juta orang telah menjadi investor aset kripto dengan nilai transaksi Rp 370,4 triliun. Faktanya, jumlah ini telah melampaui jumlah investor di pasar modal yang Mei 2021 yaitu 5,37 juta.

Sedangkan pengguna kripto di Indonesia menurut data terbaru dari Kementerian Perdagangan yang dilansir TribunNews (2022), mencapai 11,2 juta orang pada Januari 2022. Artinya selama jangka waktu 8 bulan dari Mei 2021 hingga januari 2022, terjadi peningkatan pengguna kripto sebesar 4,7 juta pengguna. Ini merupakan yang cukup signifikan, selain menganalisis sinyal positif dalam investasi kripto, penting juga untuk para investor mengetahui bagaimana islam memandang investasi pada mata uang atau aset kripto ini.Beberapa perspektif islam mengenai Cryptocurrency adalah tidak sesuai dengan hukum islam, dan disisi lain juga ada pendapat yang memperbolehkan. Dalam artikel ini, kami mencoba menganalisis beberapa pendapat ahli mengenai mata uang dan aset kripto, serta bagaimana manfaatnya apabila dikaji dari sudut pandang Maqashid Syariah.

Kripto sebagai Mata Uang

Ketika wujud suatu mata uang berubah dari emas, perak, kertas, hingga berbentuk non fisik, bagaimana islam memandang perubahan hal ini? Pendapat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan mata uang kripto atau cryptocurrency sebagai mata uang yang digunakan untuk transaksi jual-beli pada Forum Ijtima Ulama se-Indonesia ke-VII. Menurut hasil musyawarah ulama, cryptocurrency seperti Bitcoin, Ethereum, Dogecoin, dan jenis mata uang kripto lainnya diharamkan untuk kegiatan jual-beli, dikarenakan mengandung unsur Gharar dan Dharar(MUI, 2021). 

Fatwa haram dari MUI ini selaras dengan Undang-Undang(UU) Nomor 7 Tahun 2011  yang menyatakan bahwa pembayaran yang sah dan diakui di Indonesia adalah mata uang rupiah. Sehingga di Indonesia, kripto tidak tepat apabila disebut sebagai alat pembayaran.  Selaras dengan fatwa haram yang diberikan MUI, pemerintah Indonesia belum mengakui cryptocurrency sebagai alat pembayaran yang sah sebagai alternatif pemakaian rupiah. Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran telah melarang untuk memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency, salah satunya adalah cryptocurrency atau mata uang kripto. Larangan ini telah diatur secara jelas dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 7 tahun 2020. 

Dengan kata lain, saat ini kegiatan jual-beli dengan aset kripto sebagai nilai tukar pengganti mata uang tidak diperbolehkan, akan tetapi, perdagangan tersebut dilakukan dengan cryptocurrency sebagai aset diperbolehkan dengan pengawasan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappeti). 

Selain itu uang, dalam perspektif Islam, memiliki karakteristik dan persyaratan tertentu, termasuk stabilitas dan didasarkan pada aset. Penelitian dari Siswantoro et.al (2020) menunjukkan bahwa cryptocurrency memiliki batasan untuk disebut ‘uang’, salah satunya karena nilainya yang sangat fluktuatif, menyiratkan bahwa umat Islam akan enggan menggunakan cryptocurrency sebagai sebagai mata uang transaksi. Dari sudut pandang pemiliknya, pemegang akun cryptocurrency adalah anonim. Oleh karena itu, sulit untuk melacak pemilik akun sebenarnya jika ada aktivitas transaksi cryptocurrency yang mencurigakan. Selain itu, nilainya yang tidak stabil menyebabkan ketidakpastian dalam transaksi cryptocurrency. Kesimpulannya, transaksi Bitcoin tergolong transaksi dengan ketidakpastian tinggi dan tergolong sebagai gharar (Bakar et al., 2017).

Kripto sebagai Komoditas (Aset)

Dirangkum KompasTekno dari Antaranews.com(2021), MUI telah menyatakan mata uang kripto tetap sah atau diperbolehkan selama sebagai aset atau investasi, bukan sebagai alat pembayaran. Umat Islam di Indonesia menurut MUI masih diperbolehkan menyimpan kripto sebagai aset atau investasi, dan dapat diperjualbelikan. Namun demikian, diharamkan jika memakai kripto untuk alat. pembayaran/transaksi jual-beli pengganti mata uang rupiah. Menurut MUI, penggunaan cryptocurrency sebagai aset masih dikategorikan memenuhi syarat sil’ah, yaitu sesuatu yang dapat digunakan atau dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan sehingga sah untuk dimiliki dan diperjualbelikan.

Sedangkan pendapat dari Buya Yahya, pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah yang berpusat di Cirebon seperti yang dikutip Suara.com(2021) menekankan bahwa cryptocurrency dilihat dari ketidakjelasan asal usulnya, ketiadaan jaminan pertanggungjawabannya ketika terjadi sebuah pembobolan atau pencurian, serta negara yang sampai saat ini tidak mengakui keabsahannya maka penggunaan cryptocurrency lebih baik dihindari.

Meninjau hasil penelitian Nouruzzaman, et. al.(2022), cryptocurrency jika dilihat dalam prinsip ekonomi Islam tidak memenuhi kriteria sebagai alat investasi atau tukar yang diperbolehkan dalam Islam. Cryptocurrency didesain dengan sistem rumit yang tidak dapat diterima oleh semua orang. Cryptocurrency dapat dimanipulasi dan dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu, serta memiliki fluktuasi harga yang tinggi dan lebih dekat dengan gambling.

Selain itu, jika Cryptocurrency dianggap sebagai komoditas maka berpotensi menyebabkan gharar karena tidak adanya fungsi intrinsik yang terkandung dalam Cryptocurrency. Cryptocurrency juga tidak memiliki underlying asset sehingga tidak bisa disebut sebagai aset finansial. Peningkatan dan penurunan nilainya hanya didasarkan pada permintaan-penawaran(supply-demand) di pasar, dan berbasis kepercayaan. Oleh karena itu menurut Febriandika dan Sukmana(2018), berdasarkan fiqh, Bitcoin mengandung banyak syubhat dan tidak dianjurkan untuk digunakan.

Penerapan Cryptocurrency di Luar Negeri

Negara yang pertama kali menggunakan cryptocurrency sebagai mata uang yang sah adalah El Salvador. Negara ini menerapkan kripto sebagai mata uang mereka Pada bulan Juni 2021, ketika Parlemen El Salvador menyetujui legalisasi mata uang kripto, sehingga mata uang virtual non-fiat ini akan menjadi tidak terbatas untuk digunakan  transaksi apa pun. Per September 2021, El Salvador resmi mengadopsi cryptocurrency sebagai alat pembayaran yang sah bersama dolar pada, dan negara tersebut menerbitkan aplikasi Chivo Wallet, sebuah aplikasi yang memungkinkan warga untuk membeli dan menjual menggunakan BTC. (Tomorrow City, 2021). 

Dikutip dari Fortune(2022), negara ini Presiden El Salvador Nayib Bukele, ternyata menggunakan dana publik untuk memperdagangkan salah satu jenis cryptocurrency, yaitu Bitcoin dengan telepon genggamnya, seperti yang postingan Bukele di Twitter. 

Graphical user interface, text, applicationDescription automatically generated

Berdasarkan apa yang dikatakan Bukele di Twitter, negara tersebut total telah membeli setidaknya 1.391 Bitcoin dan dari perdagangan cryptocurrency telah kehilangan cukup banyak uang negara. Bahkan dikatakan oleh Fortune (2022) berdasarkan perhitungan dari Bloomberg pembelian Bitcoin yang dilakukan Bukele ini akan merugikan negara Amerika Tengah sekitar $71 juta berdasarkan harga akuisisi rata-rata $51.056 per token menggunakan tanggal dan waktu tweetnya pada 5 Desember 2021. Koin tersebut mengalami kerugian sebesar 14% karena bernilai sekitar $61 juta pada harga Rabu, 12 Januari 2022.

El Salvador sendiri mulai membeli Bitcoin sejak disahkannya pada bulan September dan memiliki nilai sekitar $50.000 saat itu, dan negara tersebut terus membeli saat token mendekati rekor tertinggi hampir $69.000 pada perdagangan awal November. Sejak itu mereka telah kehilangan sebanyak 40% dari nilai pembeliannya hingga saat ini.Penurunan nilai Bitcoin mereka juga disusul jatuhnya obligasi negara secara bersamaan. Obligasi negara itu mencatat kinerja terburuk di dunia pada tahun 2021 karena investor mengalami ketakutan oleh manajemen ekonomi El Salvador yang seakan “bereksperimen” dengan Bitcoin. Bahkan kepala penelitian negara berkembang di Stifel Nicolaus & Co. New York, Nathalie Marshik, memperkirakan bahwa pemerintah akan memiliki kesenjangan pendanaan sebesar $1 miliar di tahun 2022(Fortune, 2022). Ini menunjukkan bahwa cryptocurrency memiliki dampak yang cukup serius untuk diterapkan menjadi mata uang suatu negara, sehingga membutuhkan pertimbangan lebih lanjut agar tidak membawa negara ke dalam jurang krisis.

Pandangan Maqashid Syariah

Dari perspektif ekonomi, Maqashid al-Syariah secara umum mengacu pada tujuan syariah dalam setiap kegiatan ekonomi yaitu perdagangan, investasi, pembiayaan serta kebijakan ekonomi. Dengan menganalisis dan menyusun menurut tingkat kemaslahatan, tingkat urgensi dan kepentingan setiap kegiatan ekonomi dapat dengan mudah diketahui dan ditemukan. Dalam hal ini digunakan konsep analisis Analisis Maslahah Dan Mafsadah Mata uang kripto dalam penelitian yang dilakukan oleh Noh dan Bakar(2020).

Secara maqashid syariah penggunaan mata uang tidak hanya dibatasi pada dinar dan dirham. Yang terpenting adalah fungsi, peran, dan bagaimana kemaslahatan dalam penggunaan mata uang tersebut dapat menjawab permasalahan-permasalahan manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi(Prayitno, 2020)

Maqasid al-Syariah, melalui analisis maslahah dan mafsadah, berperan sebagai alat untuk menganalisis inovasi baru dan menentukan hukum dibaliknya, termasuk pada cryptocurrency. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Noh dan Bakar(2020) menggunakan framework SWOT, meskipun terdapat serangkaian keuntungan dari penggunaan cryptocurrency, akan tetapi ternyata kerugian dan ancaman cryptocurrency atau mafsadah yang ditimbulkan lebih besar dibandingkan dengan keuntungan dan peluangnya(Maslahah). Mafsadah yang lebih besar tersebut ditinjau dari ketiadaan nilai intrinsiknya, ketiadaan pengaturan otoritas menciptakan kondisi ekonomi yang harmonis dengan memediasi transaksi antar pengguna, nilai yang tidak stabil karena fluktuasi harga yang sangat tinggi, serta ancaman kejahatan digital seperti pencurian, phising, dan penipuan.

Kesimpulan

Menarik benang panjang pada sejarah keuangan islam, kemajuan teknologi yang ada saat ini telah membawa masyarakat pada banyak reformasi di berbagai aspek, salah satunya dalam aspek keuangan dan sistem pembayaran. Lahirnya mata uang dalam bentuk fisik seperti dinar dan dirham, serta fiat money, dewasa ini telah berkembang menuju ke bentuk digital atau non fisik seperti cryptocurrency. Hadirnya cryptocurrency ini seperti dua sisi mata uang. Terdapat satu sisi dimana kita bisa memperoleh manfaatnya, disisi lain, kita telah mengetahui berbagai dampak negatif dari penerapannya, baik secara lingkup pribadi maupun negara. Oleh karena itu, Islam sebagai sistem yang kaffah memiliki peran untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang ada, baik itu baik maupun buruk, termasuk menganalisis dalam lingkup Maqashid Syariah melalui Maslahah dan Mafsadah atas penggunaannya. 

Meskipun berbagai pro kontra mewarnai perspektif pendapat atas hukum cryptocurrency belum mencapai titik terang. Dalam penggunannya sebagai mata uang maupun aset, dapat dipastikan bahwa sampai saat ini kehadiran cryptocurrency belum disahkan oleh Pemerintah Indonesia dan otoritas yang berwenang. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk cryptocurrency, khususnya dalam menentukan dan mengkarakterisasi tingkat mafsadah dan maslahah yang timbul, atau dengan metode lain yang dapat memberikan gambaran yang lebih luas tentang hukum cryptocurrency dari pandangan Maqashid al-Syariah. Kita sebagai masyarakat perlu lebih selektif dalam penggunaan teknologi dengan mengkaji pendapat ahli dari  aspek sosial, ekonomi, teknologi, maupun aspek agama.

***

Referensi

Indonesia, Pemerintah. (2011). Undang-Undang(UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang

Bappebti. (2020). Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 7 tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto

Bappebti. (2019). Peraturan Bappebti Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan pasar Fisik Komoditi di Bursa Berjangka

Berentsen, A., & Schär, F. (2018). A short introduction to the world of cryptocurrencies. Federal Reserve Bank of St. Louis Review, 100(1), 1–16. https://doi.org/10.20955/r.2018.1-16

Peter, D. D. (2016). (PDF) An Analysis of Cryptocurrency, Bitcoin, and the Future. International Journal of Business Management and Commerce, Vol. 1 No. (October 2016). https://www.researchgate.net/publication/316656878_An_Analysis_of_Cryp tocurrency_Bitcoin_and_the_Future

Abubakar, Y. S., Ogunbado, A. F., & Saidi, M. A. (2018). Bitcoin and its Legality from Shariah Point of View. SEISENSE Journal of Management, 1(4), 13–21. https://doi.org/10.5281/zenodo.1400535

Susanti, R. (2018). Sejarah Transformasi Uang Dalam Islam. Aqlam: Journal of Islam and Plurality2(1).

Noviyanti, R. (2017). Dinar dan Dirham Sebagai Alternatif Mata Uang: Sebuah Tinjauan Literatur. Falah: Jurnal Ekonomi Syariah2(2), 177-188.

Azizah, A. S. N., & Irfan, I. (2020). Fenomena Cryptocurrency Dalam Perspektif Hukum Islam. Shautuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum1(1).

The Law Library of Congress. (2018). Regulation of Cryptocurrency Around the World. The Law Library of Congress

Umam, A. K., Putra, O. H., & Hany, I. H. (2020). Dinamika Cryptocurrency Dan Misi Ekonomi Islam. An-Nisbah: Jurnal Ekonomi Syariah7(2), 366-386.

Lokmanul,H. H. (2017). Analisis Syariah Terhadap Penggunaan Konsep Maslahah ‘Ammah dalam Produk Kewangan Islam. Jurnal Muamalat. 10. 125-145

Dusuki, A.W. and Bouheraoua, S. (2011), “The framework of Maqasid al-Shari’ahand  its  implication  for  Islamic  finance”, Islam and Civilisational Renewal, Vol. 2 No. 2, p. 316.https://icrjournal.org/icr/index.php/icr/article/view/174

Noh, M. S. M., & Bakar, M. S. A. (2020). Cryptocurrency as A Main Currency: A Maqasidic Approach. al-Uqud: Journal of Islamic Economics4(1), 115-132.

Bakar, N. A., Rosbi, S., & Uzaki, K. (2017). Cryptocurrency framework diagnostics from Islamic finance perspective: a new insight of Bitcoin system transaction. International Journal of Management Science and Business Administration4(1), 19-28.

Siswantoro, D., Handika, R., & Mita, A. F. (2020). The requirements of cryptocurrency for money, an Islamic view. Heliyon6(1), e03235.

Nouruzzaman, A., Wahab, A., & Hamid Habbe, A. (2022). CRYPTOCURRENCY IN ISLAMIC ECONOMIC PRINCIPLES. Dinasti International Journal of Education Management And Social Science3(2), 233-239. https://doi.org/10.31933/dijemss.v3i2.1068

Febriandika, N. R., & Sukmana, R. (2018). Cryptocurrency Position in Islamic Financial System: A Case Study of Bitcoin. Cryptocurrency Position in Islamic Financial System: A Case Study of Bitcoin

Muedini, F. (2018). The compatibility of cryptocurrencies and Islamic finance. European Journal of Islamic Finance, (10).

Nabila, N., & Arini, D. (2018). Dinar Dirham Vs Fiat Money: Kajian Teoritis Penggunaan Dinar Dirham Dalam Perdagangan Antar Negara Islam. Journal of Islamic Law Studies1(1), 142-158.

Rimsky K. J. 2002. Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 10

Haerisma, A. S. (2011). Dinar dan Dirham (Studi Perkembangan dan Penerapan).Cirebon : IAIN Syekhnurjati

Priyatno, P. D. (2020). Fiat Money VS Dinar-Dirham Fungsi Uang dalam Kacamata Maqashid Syariah. Syiar Iqtishadi: Journal of Islamic Economics, Finance and Banking4(1), 39-57.

Kalsum, U. (2014). Fiat Money dalam Perspektif Ekonomi dan Hukum Islam. Al-‘Adalah12(2), 427-436.

Kompas. (2021). Kripto: Pengertian, Jenis, Cara Kerja, dan Aturannya di RI. Diakses 18 Februari 2022 melalui https://money.kompas.com/read/2021/11/12/125905426/kripto-pengertian-jenis-cara-kerja-dan-aturannya-di-ri?page=all.

Budiarso, Sony. (2021). Diambang Pro dan Kontra, Ada Apa dengan Cryptocurrency?. Diakses 18 Februari 2022 melalui https://feb.ugm.ac.id/id/berita/3441-diambang-pro-dan-kontra-ada-apa-dengan-cryptocurrency

Kompas. (2021). Identitas Penemu Bitcoin “Satoshi Nakamoto” Akan Diungkap Pengadilan?. Diakses 19 Februari 2022 melalui https://tekno.kompas.com/read/2021/11/29/07020027/identitas-penemu-bitcoin-satoshi-nakamoto-akan-diungkap-pengadilan-?page=all

Suara. (2021). Hukum Investasi Mata Uang Kripto Menurut Islam dan Penjelasannya!. Diakses 19 Februari 2022 melalui https://www.suara.com/news/2021/09/12/155135/hukum-investasi-mata-uang-kripto-menurut-islam-dan-penjelasannya

Kompas. (2021). Kripto Halal sebagai Aset, Haram Jika Dipakai untuk Alat Pembayaran. Diakses 19 Februari 2022 melalui https://tekno.kompas.com/read/2021/11/12/11250257/kripto-halal-sebagai-aset-haram-jika-dipakai-untuk-alat-pembayaran?page=all..

Indonesia, Majelis Ulama. (2021). Keputusan Fatwa Hukum Uang Kripto atau Cryptocurrency. Diakses 19 Februari 2022 melalui https://mui.or.id/berita/32209/keputusan-fatwa-hukum-uang-kripto-atau-cryptocurrency/

City, Tomorrow. (2021). Living with Bitcoin as Currency : The Case of El Salvador. Diakses 1 Maret 2022 melalui https://tomorrow.city/a/el-salvador-bitcoin-legal-tender

Fortune. (2022). El Salvador’s President has likely lost money through Bitcoin trading, economists say. Diakses 1 Maret 2022 melalui https://fortune.com/2022/01/12/el-salvador-cryptocurrency-bitcoin-nayib-bukele-trading-loss/

Post navigation

Written by

adminshafiec