BACK TO POSTS
Artikel Shafiec

Fintech P2P Lending, Solusi Pendanaan Bagi Masyarakat Unbankable

adminshafiec
/
February 15, 2023
8 mins

Oleh: Sony Budiarso, S.E.

Peneliti Muda SHAFIEC UNU Yogyakarta

Teknologi menghadirkan kemudahan dan kecepatan dalam segala aspek kehidupan, salah satunya dalam kegiatan bertransaksi dalam sektor keuangan. Saat ini, melakukan pinjaman uang dapat dilakukan secara online atau biasa dikenal dengan fintech peer-to-peer (P2P) lending. Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No.77/POJK.01/2016, fintech peer-to-peer lending adalah layanan pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah secara langsung antara kreditur (pemberi pinjaman) dan debitur (penerima pinjaman) berbasis teknologi informasi. Secara penerapannya, fintech P2P lending merupakan inovasi pemanfaatan teknologi yang memungkinkan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman untuk melakukan transaksi pinjam-meminjam tanpa harus bertemu secara langsung. Mekanisme transaksi pinjam meminjam ini dilakukan melalui sistem yang telah disediakan oleh Penyelenggara Fintech Lending, baik melalui aplikasi maupun laman website.

Pertumbuhan fintech P2P lending saat ini makin berkembang pesat, mengingat semakin bertambahnya jumlah UMKM dan masyarakat pengakses layanan digital di Indonesia. Fintech P2P lending hadir menjadi solusi atas lemahnya akses UMKM atau masyarakat minim akses perbankan (unbankable) khususnya terhadap permodalan. Sebab di satu sisi, UMKM masih memiliki beberapa masalah seperti model manajemen bisnis tradisional, atau tidak memiliki jaminan aset tetap yang memadai untuk menjamin pinjaman modalnya. Hal ini tentu berbeda dengan usaha besar yang memiliki manajemen pengelolaan bisnis yang baik, dan memiliki aset tetap yang dapat dijadikan jaminan modal pinjaman. 

Di sisi lain, sektor perbankan formal identik dengan regulasi yang ketat sehingga lebih memilih pemberian pinjaman pada usaha besar dengan potensi yang jelas dibandingkan UMKM dengan gambaran pontensi yang masih perlu dilakukan penelusuran lanjutan (Muhammad dan Nisa, 2020). Sedangkan melalui fintech P2P lending, masyarakat khususnya UMKM mendapatkan kemudahan akses dalam peminjaman dana modal untuk pengembangan bisnisnya. Tidak seperti perbankan tradisional, biasanya, fintech P2P lending tidak terlalu mempertimbangkan mengenai jaminan, akan tetapi fintech P2P lending tetap mempertimbangkan kelayakan kredit pinjaman, nominal dan tenor pinjaman, suku bunga, hingga tingkat keamanan dari catatan kredit peminjam.

Operasional Fintech P2P Lending

Bisnis fintech P2P lending merupakan inovasi finansial dengan sentuhan teknologi modern. Dengan kecepatan dan kemudahan akses keuangan yang ditawarkan, bisnis ini memberikan layanan jasa keuangan yang terbuka kepada seluruh masyarakat, dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Layanan fintech p2p lending di Indonesia memuat 3 (tiga) subyek hukum yaitu pemberi pinjaman (lender), peminjam (borrower), dan penyelenggara. Dalam hal ini, lender dan borrower berdasarkan Pasal 1 angka 9 POJK No. 77/POJK.01/2016 dikategorikan sebagai pengguna atau konsumen layanan penyelenggara fintech P2P lending. Borrower merupakan pihak yang mempunyai utang karena adanya perjanjian elektronik layanan fintech P2P lending, sedangkan lender adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian elektronik layanan fintech P2P lending. Perjanjian kontrak elektronik dalam penyelenggaraan fintech P2P lending adalah mengikat para pihak (Disemadi, 2021).

Investasi di P2P lending ini memberikan janji return cukup tinggi per tahunnya, namun berinvestasi dalam platform P2P lending juga arus disesuaikan dengan profil serta tingkat risiko yang diterima dan bisa dikelola. Oleh karena itu, menurut Sikapi Uangmu OJK (2020) langkah paling awal dalam proses investasi di P2P lending adalah memahami risikonya. Berikut adalah cara kerja P2P lending adalah sebagai berikut: 

  1. Registrasi keanggotaan. 

Pengguna (lender dan borrower) platform P2P lending melakukan registrasi secara online melalui komputer atau ponsel masing-masing

  1. Borrower melengkapi profil diri dan melakukan pengajuan pinjaman
  2. Platform P2P lending sebagai penyelenggara layanan jasa pinjam meminjam memilih dan menganalisis profil borrower, seperti kelayakan untuk mengajukan pinjaman, dan tingkat risiko dari borrower tersebut; 
  3. Borrower yang terpilih dari hasil seleksi kemudian dipertemukan dengan calon lender di dalam marketplace P2P lending secara online disertai dengan informasi komprehensif mengenai profil dan risiko borrower tersebut.
  4. Investor P2P lending melakukan analisa dan seleksi atas borrower yang tercantum dalam marketplace P2P lending yang disediakan oleh platform. 
  5. Setelah menganalisa, investor P2P lending melalui platform P2P lending menyetujui untuk memberi pendanaan ke borrower yang dipilih.
  6. Borrower mendapat pendanaan dan harus mengembalikan pinjamannya sesuai jadwal pengembalian pinjaman yang telah disepakati sebelumnya ke platform P2P lending. 
  7. Investor P2P lending menerima dana pengembalian pinjaman dari borrower melalui platform P2P lending secara online.

Namun operasional fintech P2P lending tidak sepenuhnya hanya mengambil keuntungan berbasis tingkat bunga (interest rate), di Indonesia sendiri juga dikenal fintech P2P lending syariah yang menggunakan skema pembiayaan dengan model jual beli, bagi hasil, atau metode sewa menyewa, dimana setiap metode memiliki potensi risiko yang berbeda (Muhammad dan Nisa, 2020). Fintech syariah adalah inovasi dari penyedia layanan intermediasi keuangan untuk mengoptimalisasi fungsi teknologi informasi terhadap transaksi keuangan dengan akad-akad yang menggunakan skema transaksi syariah (Nafiah & Faih, 2019). Transaksi-transaksi yang dilakukan operator fintech syariah ini secara umum hampir sama dengan lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah. Namun, terdapat hubungan hukum yang berbeda dimana bank syariah menjadi subyek hukum yang langsung berhadapan dengan nasabah. Sementara operator fintech syariah hanya sebagai jembatan yang menyediakan jembatan transaksi bagi antara investor sebagai pemberi dana dengan mitra usaha yang akan meminjam dana. Oleh karena itu, operator fintech syariah tidak secara langsung sebagai subyek hukum yang berhadapan dengan nasabah (Muhammad dan Nisa, 2020). Skema pembiayaan dengan model jual beli, bagi hasil, atau metode sewa menyewa, dimana setiap metode memiliki potensi risiko yang berbeda (Muhammad dan Nisa, 2020). Salah satu contoh peer to peer lending syariah di Indonesia adalah startup ALAMI (Alami.co.id). ALAMI adalah platform peer to peer lending syariah yang mulai dibangun pada tahun 2019 sebagai platform yang berfokus untuk pembiayaan UKM. Hari ini, ALAMI telah membantu mengakselerasi pendanaan lebih dari US$200 juta untuk lebih dari 8.500 transaksi pembiayaan UKM. 

Dampak positif adanya fintech P2P Lending adalah hadirnya digitalisasi metode pembiayaan atau peminjaman. Proses digitalisasi keuangan ini bahkan dapat menyentuh hingga masyarakat yang selama ini sulit mengakses layanan permodalan lembaga keuangan konvensional (unbankable).  Perubahan ini tentunya menjadi solusi bagi masyarakat untuk mempermudah dalam proses pembiayaan tanpa harus mendatangi langsung lembaga keuangan konvensional seperti perbankan. Hanya berbekal ponsel, identitas, serta aplikasi, konsumen dapat melakukan pinjaman kapan saja dan dimana saja. Fintech P2P Lending juga menambah efektivitas dalam layanan keuangan, dimana dalam proses bisnisnya, fintech P2P Lending mampu memangkas beberapa biaya yang dimiliki lembaga keuangan konvensional, seperti biaya transportasi, komunikasi sehingga transaski pinjam meminjam uang lebih efektif (Machrusyah et al., 2020). 

Menurut Sikapi Uangmu OJK (2020), manfaat dari P2P lending bagi peminjam adalah proses pengajuan pinjaman relatif lebih cepat dan mudah dari pada bank konvensional, sebab P2P lending tidak memperlukan adanya jaminan. Di sisi lain, timbul suku bunga pinjaman yang cukup tinggi dan denda sangat besar yang harus dibayarkan ketika telat membayar. Untuk itu, harus dipastikan bahwa pinjaman yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan calon peminjam memiliki kemampuan membayar pinjamannya.Sedangkan bagi lender, fintech P2P lending memudahkan dalam proses diversifikasi pendanaan, dan memperbesar untuk memperoleh keuntungan. Namun, uang yang telah diinvestasikan lender ke P2P lending tidak bisa ditarik kapan saja. Sebab, terdapat kondisi kemungkinan bahwa peminjam mengalami gagal bayar, sehingga dana yang dipinjamkan akan selalu memiliki risiko gagal bayar tersebut. Untuk itu, diversifikasi sangat diperlukan untuk meminimalisir risiko, serta perlu adanya informasi tingkat risiko yang ditentukan oleh platform P2P lending sehingga lender bisa mempertimbangkan dengan baik profil risiko sebelum memberikan pinjaman atau pendanaan. Meskipun demikian, terdapat risiko yang dihadapi bagi fintech, khususnya bagi lender, borrower, dan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi.

Risiko dan Kekurangan Fintech P2P Lending

Meskipun mengakselerasi akses masyarakat unbankable terhadap permodalan, fintech P2P Lending masih memiliki beberapa permasalahan hingga saat ini:

  1. Risiko Kredit

Risiko kredit berkaitan dengan risiko potensi kegagalan pembiayaan yang dilakukan oleh fintech P2P Lending yang disebabkan karena kegagalan dalam mengelola perkembangan usaha atau menjaga kemampuan membayar dari nasabah atau mitra usahanya. Khususnya dalam fintech syariah, dimana pembiayaannya memiliki varian yang berbeda dengan kontrak-kontrak pinjaman konvensional yang hanya menggunakan satu instrumen harga yaitu tingkat bunga. Sementara pembiayaan syariah menggunakan skema pembiayaan dengan model jual beli, bagi hasil, atau metode sewa menyewa, dimana setiap metode memiliki potensi risiko yang berbeda (Muhammad dan Nisa, 2020).

  1. Informasi Asimetri

Lembaga pemberi pinjaman konvensional menilai risiko kredit pinjaman dengan cara mempertimbangkan tingkat kredit yang lebih rendah dan menyesuaikan tingkat suku bunga mereka. Sebaliknya, platform pinjaman P2P online tersedia untuk peminjam yang memenuhi syarat dengan kelayakan atau skor kredit rendah. Bahkan dalam beberapa kasus, P2P lending sama sekali tidak memperdulikan profil risiko nasabah. Inilah yang menyebabkan masalah yang dappat merugikan lender. Lender pada platform ini gagal menilai risiko kredit sambil meningkatkan kemungkinan gagal bayar, sedangkan risiko gagal bayar yang tinggi tidak cukup ditutupi dengan tingkat bunga yang tinggi dari P2P Lending (Emekter et al., 2014). Perlu adanya profil tingkat risiko dari individu yang akan meminjam sehingga lender dapat mempertimbangkan dengan baik sebelum memberikan pinjaman. Inilah yang menyebabkan terjadinya informasi asimetri dimana dalam proses penilaian risiko P2P lending, sering terjadi ketidaktersediaan informasi kredit individual yang dapat mempengaruhi penilaian risiko kredit yang rendah. Oleh karena itu, beberapa aplikasi pinjaman gagal karena tingkat keberhasilan penilaian risiko kredit yang rendah. Padahal, keberhasilan penilaian risiko dan keputusan pinjaman seharusnya dipengaruhi oleh kelayakan kredit individu yang dapat dilihat dari informasi skor kredit. 

  1. Keputusan Investasi

Konsep P2P Lending adalah mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman melalui penyelenggara yaitu fintech. Beberapa risiko penyimpangan terjadi, seperti perilaku menunjukkan bagaimana investor akan bersaing dalam investasi P2P Lending ketika mendengar rumor positif dan sebaliknya, mereka akan menjual secara besar-besaran jika rumor negatif (Jiang, et al. 2018). Hal ini menyebabkan perputaran modal yang tidak pasti dalam bisnis fintech P2P Lending sehingga mengancam keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang. 

  1. Diskriminasi Gender

Uniknya, dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat masalah diskriminasi gender dalam Fintech P2P Lending. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peminjam perempuan lebih mungkin untuk didanai daripada peminjam laki-laki (Chen, Li, dan Lai, 2017). Untuk itu, P2P Lending saat ini menyajikan alternatif dalam menentukan keputusan investasi, yaitu dengan Algoritma machine learning untuk pencocokan profil telah diusulkan untuk mendapatkan pencocokan profil calon nasabah yang efektif (Suryono, Purwandari, dan Budi, 2019).

  1. Ketiadaan Tambahan Literasi

Masalah terakhir adalah kelayakan dari Platform atau aplikasi P2P Lending. Selain operasi bisnis, fintech P2P lending harus melengkapi dengan literasi keuangan bagi calon nasabah, tidak hanya cara atau metode mengambil pinjaman. Menurut Suryono, Purwandari, dan Budi (2019) fintech P2P dapat memberikan tambahan literasi bagi calon nasabah seperti pemberian Modul Penandatanganan Kontrak Elektronik, Modul Pemeringkatan Kredit, Modul Manajemen Keuangan, Modul Manajemen Setelah Pinjaman, Modul Manajemen Penjaminan, dan lain sebagainya.

  1. Predatory lending

Dewasa ini, semakin banyak orang mengenal fintech P2P lending, juga diimbangi dengan semakin banyak muncul fintech P2P lending ilegal atau “bodong” yang melakukan “predatory lending” atau praktik pemberian pinjaman yang mengenakan persyaratan, ketentuan, bunga, dan/atau biaya-biaya yang tidak wajar bagi peminjam. Salah satunya adalah adanya penetapan syarat, ketentuan, atau biaya yang mengandung unsur tipu muslihat, serta tidak memperhatikan kemampuan peminjam untuk mengembalikan pinjaman. Permasalahan ini terutama disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat yang terpaksa harus meminjam, kurangnya literasi keuangan, hingga adanya kejadian tak terduga salah satunya adanya Covid-19 yang menimbulkan banyaknya pemutusan hubungan kerja (Disemadi, 2021). Perlu peran semua kalangan dalam meningkatkan kesadaran hukum, meningkatkan literasi keuangan mulai dari diri masing-masing agar semakin berkembangnya teknologi, berkembang pula pemahaman masyarakat dengan risiko yang dihadapi sehingga nantinya lebih bijak dalam mengajukan aplikasi pinjaman dan memilih fintech P2P lending yang legal.

***

Referensi

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Muhammad, R., & Nissa, I. K. (2020). Analisis Resiko Pembiayaan dan Resolusi Syariah pada Peer-To-Peer Financing. Equilibrium: Jurnal Ekonomi Syariah8(1), 63.

Nafiah, R., & Faih, A. (2019). Analisis Transaksi Financial Technology (Fintech) Syariah dalam Perspektif Maqashid Syariah. IQTISHADIA: Jurnal Ekonomi & Perbankan Syariah, 6(2), 167–175. https://doi.org/10.19105/iqtishadia. v6i2.2479

Disemadi, H. S. (2021). Fenomena Predatory Lending: Suatu Kajian Penyelenggaraan Bisnis Fintech P2P Lending selama Pandemi COVID-19 di Indonesia. Pandecta Research Law Journal16(1), 55-67.

Suryono, R. R., Purwandari, B., & Budi, I. (2019). Peer to peer (P2P) lending problems and potential solutions: A systematic literature review. Procedia Computer Science161, 204-214.

Machrusyah, S., Budyatomo, H. I., & Aulia, R. D. (2020). Optimalisasi Penanggulangan Fintech Peer To Peer Lending Ilegal Melalui Intersectoral Coordinating Protocol Guna Menghadapi Revolusi Industri 4.0. Gema Keadilan, 7(1), 45–57. https://doi.org/doi.org/10.14710/gk.7.1.45-57

Emekter, R., Tu, Y., Jirasakuldech, B., Lu, M., 2014. Evaluating credit risk and loan performance in online Peer-to-Peer (P2P) lending. Appl. Econ. 47 (1), 54–70.

Basha, S. A., Elgammal, M. M., & Abuzayed, B. M. (2021). Online peer-to-peer lending: A review of the literature. Electronic Commerce Research and Applications48, 101069.

Jiang, C., Q. Xu, W. Zhang, M. Li, and S. Yang. (2018) “Does Automatic Bidding Mechanism Affect Herding Behavior? Evidence from Online P2P Lending in China.” J Behav Exp Financ 20: 39–44.\

Chen, D., X. Li, and F. Lai. (2017) “Gender Discrimination in Online Peer-To-Peer Credit Lending: Evidence from a Lending Platform in China.” Electron Commer Res 17: 553–583.

Otoritas Jasa Keuangan. (2020) Yuk Mengenal Fintech P2P Lending Sebagai Alternatif Investasi Sekaligus Pendanaan. Diakses 6 September melalui https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/20566

Post navigation

Written by

adminshafiec